Pemilu 2019: Kematangan, Legitimasi, dan Stabilitas Demokrasi

Oleh: Koordinator Pusat POROS MWK (Mandat Warga untuk Keadilan), Girindra Sandino

Pemilu 2019: Kematangan, Legitimasi, dan Stabilitas Demokrasi
Girindra sandino. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 telah berlangsung aman, tertib dan kondusif. Namun demikian, pelaksanaan Pemilu 2019 masih banyak yang harus dikoreksi dan dievaluasi. Koalisi Masyarakat Sipil mencatat ada kesan Pemilu 2019 Semrawut. Kesan semrawut bisa muncul jika penyelenggara sebagai penanggung jawab pemilu serentak mengabaikan masukan bahkan kritik dari masyarakat.

Yang perlu mendapat perhatian adalah apakah kesemrawutan pelaksanaan Pemilu 2019 itu masih dalam batas “wajar” atau masih bisa diperbaiki dengan iktikad baik semua elemen masyarakat demi keberlangsungan demokrasi di Republik Indonesia?

Pemilu Indonesia pada 17 April 2019 lalu dikenal dunia merupakan pemilu yang memiliki kompleksitas tinggi dan terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Uniknya Indonesia adalah Negara berpenduduk muslim terbesar. Pemilu yang diadakan di 34 provinsi, 514 kabupaten/kota, 83.405 desa/kelurahan, dengan jumlah pemilih 193 jutaan serta 809.500 tempat pemungutan suara (TPS) yang melayani 200-300 pemilih.

Pelaksanaannya pun serentak dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Calon legislatif Pusat, Provinsi hingga tinggkat Kabupaten/kota. Ada lima jenis surat suara di TPS yang dicoblos atau dipilih oleh pemilih sehingga dalam pelaksanaannya 17 April 2019 lalu. Kelompok-kelompok masyarakat sipil termasuk POROS MWK (Mandat Warga untuk Keadilan) yang memantau pelaksanaan Pemilu di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Aceh dan Hongkong serta Taiwan, dengan segala keterbatasannya serta laporan-laporan yang masuk dari berbagai daerah, bahwa akan terjadi kendala teknis yang berat di lapangan jika akurasi DPT crowded, kesiapan logistik surat suara kurang siap, persiapan rekrutmen jajaran tingkat bawah yang kurang memadai, hingga hak pilih.

Dalam hal ini kami tidak akan merinci temuan-temuan lapangan. Pasalnya, temuan-temuan kami hampir mirip dengan temuan pemantau-pemantau lain serta temuan Bawaslu RI.

Berikut beberapa poin komentar kami mengenai Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 yang baru diselenggarakan:

Pertama, animo masyarakat tinggi untukmemilih pemimpinnya. Hal ini terlihat dari sudah penuhnya TPS-TPS sebelum pukul 07.00. Akan tetapi banyak juga pemilih yang kecewa karena petugas KPPS belum siap untuk membuka TPS. Pun dalam proses pelaksanaannya, yang sebelumnya ada suara-suara akan terjadi keributan atau “chaos” sama sekali tidak terjadi.

Mengingat masyarakat terpolarisasi sangat tajam sebelum pemilu digelar. Fakta sebaliknya dalam pantauan kami, sehabis proses pemungutan dan mulainya penghitungan suara hingga mereka tahu siapa pemenangnya di TPS-TPS mereka, masyarakat tenang, bahkan ada yang “ngopi” bareng walau beda pilihan, hanya beberapa saja yang menampakkan mimik kecewa, namun hari-hari berikutnya warga melakukan aktivitas seperti biasa.

Koreksi dan evaluasi kritis menyeluruh terhadap pelaksanaan Pemilu serentak 2019 sangat penting dilakukan agar Indonesia sebagai Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dapat terhindar dari penyakit pseudo democracy.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News