Pemilu 2019: Kematangan, Legitimasi, dan Stabilitas Demokrasi

Oleh: Koordinator Pusat POROS MWK (Mandat Warga untuk Keadilan), Girindra Sandino

Pemilu 2019: Kematangan, Legitimasi, dan Stabilitas Demokrasi
Girindra sandino. Foto: Dokpri for JPNN.com

Begitu cepat cairnya emosi politik warga terhadap kompetisi politik di daerahnya. Artinya, menunjukkan kematangan dan kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi sudah teruji, meminjam Dankwart Rustow, seorang pakar politik, bahwa tahap konsolidasi demokrasi lebih jauh adalah tertanamnya budaya politik demokrasi dalam masyarakat. Perkembangan demokrasi yang ditunjukkan oleh masyarakat Indonesia saat ini sudah pada tahap tertanamnya demokrasi dalam budaya politik mereka. Hal inilah yang harus dipertahankan.

Kedua, segala bentuk temuan kelalaian atau ketidakpahaman penyelenggara yang mengakibatkan terganggunya tahapan pemilu atau cacat adminsitratif pada proses pemungutan suara dan penghitungan suara, temuan penyimpangan dan kecurangan yang senyatanya sudah terbukti, harus segera diselesaikan dengan mekanisme hukum yang berlaku atau sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengan transparan, akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, serta dapat diterima berbagai pihak. Oleh karena hal ini menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap proses dan hasil pemilu sebagai basis legitimasi politik pemerintahan terbentuk ke depan dan terhindar dari krisis politik.

Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy: Toward Consolidation, 2003 - legitimasi merupakan sebuah vaiabel independen yang mempengaruhi kinerja pemerintahan ke depan.

Semakin dalam dan semakin universal kepercayaan pada legitimasi demokrasi dan komitmen untuk mematuhi aturan-aturan sistem demokratis tersebut, maka akan mudah bagi pemerintah ke depan untuk memformulasikan kebijakan-kebijakan terhadap masalah utama yang sedang dihadapi masyarakat. Tingkat legitimasi yang tinggi juga akan menyediakan kesabaran publik dan dukungan yang lebih besar pada pemerintahan terbentuk ke depan. Di samping itu konsolidasi demokrasi yang sedang berkembang lebih jauh di Indonesia ini merupakan persoalan merawat stabilitas dan persistensi demokrasi.

Ketiga, agar kedua kubu elite politik beserta pendukungnya mengikuti alur psikologis politik masyarakat yang sudah cair terlebih dahulu. Yang sudah saling menghormati dan menghargai walau belum hasil resmi. Adalah wajar mengklaim kemenangan menurut versi masing-masing, mengingat keraguan terhadap lembaga-lembaga survei sebelumnya memprediksi kemenangan petahana hampir 20 persen, namun di hari pemungutan dan penghitungan suara, pada lembaga-lembaga survei, melakukan publikasi quick count hanya selisih sekitar 10 persen.

Terlebih jika kita mengingat jejak lembaga survei pada Pilkada-pilkada sebelumnya, sebagai contoh pada Pilkada Jawa Barat lalu banyak lembaga survei meleset jauh, Pilkada DKI hampir seluruh lembaga survei mengunggulkan Ahok, namun Anies yang menang sehingga keraguan terhadap Quick Count sekali pun adalah hal yang wajar dalam dinamika kontestasi demokrasi. Langkah yang paling realistis saat ini adalah mengawal proses rekap berjenjang dan menunggu hasil resmi dari KPU.

Keempat, sikap kritis yang ditunjukan salah satu kubu terhadap proses dan hasil pemilu jika menimbulkan gejolak di masyarakat dan berpotensi konflik terbuka jangan disikapi represif. Bagaimana pun perjuangan gigih kedua kubu harus dihargai sebagai sebuah praksis demokrasi dalam dinamikanya sendiri di peraturangan electoral dan kedua kubu memiliki basis politiknya masing-masing.

Sikap represif hanya akan memunculkan masalah-masalah baru, terlebih jika represif tersebut terdapat insiden yang dapat memunculkan “martir-martir politik” baru yang tidak perlu sehingga perlu langkah sejak dini sebelum pengumuman resmi hasil pemilu, seperti komunikasi politik persuasif yang intens antara elite kedua kubu. Selebihnya perselisihan hasil perolehan suara serahkan kepada yang berwenang, yakni Mahkamah Konstitusi.

Koreksi dan evaluasi kritis menyeluruh terhadap pelaksanaan Pemilu serentak 2019 sangat penting dilakukan agar Indonesia sebagai Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dapat terhindar dari penyakit pseudo democracy.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News