Peneliti CSIS: Belanja Alutsista Bukan Seperti Beli Rokok, Tidak Bisa Ketengan

Peneliti CSIS: Belanja Alutsista Bukan Seperti Beli Rokok, Tidak Bisa Ketengan
Ratusan Alutsista TNI dipamerkan pada Upacara Perayaan HUT ke-72 TNI di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten (5/10). Perayaan HUT ke-72 TNI mengusung tema Bersama Rakyat TNI Kuat. Foto : Ragil

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti senior Center for Strategic and International Studies (CSIS), Evan A. Laksmana, menyatakan butuh perencanaan jangka panjang dalam menghitung kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) guna menjaga kedaulatan. Sebab, pengadaannya tak seperti membeli mobil dari dealer atau showroom.

"Memang beli senjata itu, kan, bukan kayak kita beli mobil; teken kontrak hari ini, besok datang. Begitu, kan, enggak bisa," ucapnya dalam Trijaya Hot Topic Petang bertajuk "Indonesia Wajib Miliki Pertahanan Kuat" pada Rabu (16/6).

"(Pengadaan) alutsista bisa dua sampai tiga, bahkan empat tahun kalau kita pesan. Jadi, memang untuk kita beli-beli senjata, alutsista, dan seterusnya itu perlu perencanaan jangka panjang yang bukan cuma satu, dua, sampai tiga tahun bahkan bisa sampai 20 tahun," sambungnya.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan mewajibkan adanya transfer teknologi jika Indonesia terpaksa membeli alutsista dari produsen luar negeri. Menurut Evan, bukan perkara mudah untuk melaksanakannya.

"Beli alutsista itu kita enggak bisa seperti kita beli rokok, kita beli ketengan, minta dua, minta empat," jelasnya. "Kita harus beli banyak supaya bisa nego transfer teknologi dan seterusnya."

Di sisi lain, Evan berpendapat, usulan anggaran Rp1.700 triliun dalam Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kemenhan-TNI Tahun 2020-2044 bukan angka yang besar. Angka itu dinilainya jauh di bawah rasio 0,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun.

"Sebetulnya kalau kita lihat angka segitu untuk 20 tahun dan kita mempertimbangkan kita enggak lebih dari 0,8 dari GDP setiap tahun, sebetulnya angka segitu masih sedikit," tuturnya.

"Kalau kita bicara long term capability development, itu sebetulnya masih cukup minim. Negara-negara lain, seperti China, India, Jepang itu 2-3 kali lipat dari biaya tersebut selama 5-10 tahun terakhir," imbuhnya.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan mewajibkan adanya transfer teknologi jika Indonesia terpaksa membeli alutsista dari produsen luar negeri.

Sumber Antara

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News