PSI Kritik Pasal Sekolah Minggu di RUU Pesantren

PSI Kritik Pasal Sekolah Minggu di RUU Pesantren
Diskusi tentang RUU Pesantren di DPP PSI. Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - PSI mengapresiasi dan mendukung terealisasinya UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Namun, ada beberapa pasal dalam rancangan saat ini yang perlu dikritisi.

“Semangatnya bagus, bermula dari keinginan memberikan political recogniction kepada lembaga pendidikan nonformal, terutama pesantren,” kata juru bicara PSI Dara A Kesuma Nasution dalam keterangan pers yang diterima JPNN, Rabu (31/10).

Menurut dia, keberatan dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) terhadap RUU tersebut sangat bisa dipahami.

Misalnya, terkait Pasal 69 ayat 3 di RUU tersebut yang menyatakan pendidikan sekolah minggu dan katekisasi diselenggarakan dengan peserta paling sedikit 15 orang.

Selanjutnya, ada juga keberatan pada Pasal 69 ayat 4 yang memuat ketentuan bahwa setiap pengajaran non-formal harus dilaporkan dulu ke kementerian agama kabupaten atau kota.

“Wajar jika kemudian ada kekhawatiran bahwa hal ini berujung pada birokratisasi pendidikan. Jadi sebaiknya dua pasal itu direvisi,” kata Dara.

Di sisi lain, karakteristik pesantren dan sekolah minggu itu tidak sama. Akan menimbulkan masalah jika keduanya diperlakukan sama.

Dara menyatakan, ada dua rekomendasi dari PSI. “Pertama, regulasi ini tetap mengatur tentang pesantren dan pendidikan agama lain, tapi harus melalui diskusi panjang yang melibatkan tokoh-tokoh dari semua agama,” kata Caleg DPR RI dari Dapil Sumut 3 ini.

PSI mengapresiasi dan mendukung terealisasinya UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Namun, ada beberapa pasal dalam rancangan saat ini yang perlu dikritisi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News