‘The Aceh Way’, Pilihan Soft Power Dalam Mengelola Konflik Aceh

‘The Aceh Way’, Pilihan Soft Power Dalam Mengelola Konflik Aceh
Velix Wanggai adalah Doktor Hubungan Internasional, Senior Researcher pada the Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh VELIX WANGGAI

Penulis adalah Doktor Hubungan Internasional, Senior Researcher pada the Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta

 

Tanggal 15 Agustus 2005 adalah hari yang bermakna dalam hubungan antara Jakarta dan Aceh. Pada tanggal itu, konflik antara Jakarta - Aceh berakhir yang ditandai oleh penandatanganan Nota Kesepakatan (Memorandum of Understanding, MOU) antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia.

Ketika itu, Indonesia diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin dan pihak GAM diwakili oleh Malik Mahmud. Momen bersejarah ini disaksikan oleh mantan Presiden Marti Ahtisaari, sekaligus sebagai Chairman of the Board of Directors of the Crisis Management Initiative (CMI), sebagai fasilitator proses negosiasi.

Hal ini dicapai setelah proses panjang yang dilakukan oleh wakil Pemerintah Indonesia dan wakil dari GAM. Dari pelbagai pandangan yang tajam yang saling berseberangan, namun akhirnya dicapai kesepakatan yang dianggap win-win solution bagi kedua belah pihak. Ditemui jalan tengah untuk mengakhiri konflik panjang hampir 30 tahun yang telah banyak menelan korban.

Komitmen Negara untuk Aceh

Kesepakatan Helsinki yang dicapai pada 15 Agustus 2005 adalah hasil dari proses panjang Negara (Pemerintah) dalam mencari solusi damai untuk Aceh. Komitmen ini telah ditunjukkan oleh Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Megawati Sukarnoputri.

Oleh VELIX WANGGAI

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News