Waduh, Wali Kota Rahma kok Melantik Tersangka Korupsi Jadi Pejabat?

Waduh, Wali Kota Rahma kok Melantik Tersangka Korupsi Jadi Pejabat?
Pelantikan pejabat Eselon III dan IV Pemkot Tanjungpinang pada 9 Januari 2021 (Istimewa)

jpnn.com, TANJUNG PINANG - Wali Kota Tanjungpinang Rahma tengah menjadi sorotan lantaran kebijakannya melantik seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) berstatus tersangka korupsi menjadi pejabat.

Kritik tajam pun dilontarkan pengamat kebijakan publik Wayu Eko Yudiatmaja. Dia menyebut pelantikan pejabat yang berstatus tersangka korupsi melanggar etika administrasi negara, meski tidak melanggar aturan.

Pasalnya, kata Wayu, mengurus pemerintahan tidak hanya harus taat dengan aturan, tetapi juga melihat aspek etika.

"Apakah ini menimbulkan preseden buruk bagi pemerintahan atau tidak? Kalau itu dipertimbangkan, semestinya ASN yang berstatus sebagai tersangka tidak dilantik sebagai pejabat," kata Wayu dihubungi di Tanjungpinang, Sabtu (23/1).

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang itu mengatakan, Rahma mengambil risiko terlalu besar ketika melantik Yudi Ramdani, yang belum lama ini ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh penyidik kejaksaan setempat.

Dia menilai nama baik Pemkot Tanjungpinang tercoreng akibat kebijakan menempatkan Yudi Ramdani yang tersangkut kasus dugaan korupsi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan (BPHTB) di Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD) Tanjungpinang.

Selain itu, kebijakan melantik Yudi yang tertuang dalam Surat Keputusan Wali Kota Tanjungpinang Nomor 35/2021 tentang Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama itu juga akan mempengaruhi kinerja ASN yang bersih.

"Ini kebijakan yang tidak populis baik di lingkungan masyarakat maupun pemerintahan, yang seolah-olah wali kota tidak mendukung pemberantasan korupsi. Sebaiknya, tinjau ulang kebijakan ini untuk mencegah polemik berkepanjangan," Wayu menyarankan.

Kebijakan Wali Kota Tanjungpinang Rahma melantik ASN berstatus tersangka korupsi dianggap melanggar etika.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News