Warga Cireundeu Mengonsumsi Nasi dari Beras Singkong, Sudah Hampir Seabad

Warga Cireundeu Mengonsumsi Nasi dari Beras Singkong, Sudah Hampir Seabad
Warga sedang mengolah singkong menjadi berbagai jenis makanan di Balai Adat. Anisatul Umah/Jawa Pos. Foto: Anisatul Umah/Jawa Pos

Mengutip artikel Zen Rahmat Sugito di National Geographic Indonesia, pada 1954 pangsa beras di Indonesia hanya 53,5 persen. Separonya merupakan para pemakan nonberas. Pada 1987 angka itu melonjak menjadi 81,1 persen.

Dalam rentang 45 tahun, dari 1954–1999, pangsa singkong yang semula 22,6 persen menyusut menjadi hanya 8,83 persen.

Abah Widia jelas masuk dalam yang 8,83 persen itu. Sepanjang hidupnya yang kini telah menyentuh 57 tahun, tak sekali pun wakil ketua adat Cireundeu itu makan nasi beras.

Bukan hanya beras dalam bentuk nasi, kue-kue yang terbuat dari tepung beras pun dia belum pernah mencicipi. Begitu juga istri dan anak-anaknya. ”Makan kue dari tepung beras pun abah belum pernah,” ucap pria yang sehari-hari bekerja menjaga warung itu.

Salah satu kelebihan rasi, menurut para warga Cireundeu, gampang mengenyangkan. Sehari cukup dua kali mengonsumsi. ”Makan satu centong saja sudah kenyang,” kata Abah Widia.

Inti dari makanan, menurut Abah Widia, adalah membuat kenyang. Pola pikir yang salah adalah menyebut beras sebagai makanan pokok. Padahal, masih banyak sumber makanan pokok lain.

Cireundeu sudah ada sejak abad ke-16. Sejak 1918 warga kampung itu mencoba berbagai jenis umbi-umbian seperti ganyong dan jagung. Kala itu masyarakat setempat masih mengonsumsi beras padi.

Enam tahun berselang, tepatnya pada 1924, ditemukan singkong oleh sesepuh perempuan bernama Ambu Omah Asnamah.

Beras singkong tetap jadi pilihan Warga Kampung Cireundeu, karena selain mengenyangkan tapi juga menyehatkan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News