Warga Cireundeu Mengonsumsi Nasi dari Beras Singkong, Sudah Hampir Seabad

Warga Cireundeu Mengonsumsi Nasi dari Beras Singkong, Sudah Hampir Seabad
Warga sedang mengolah singkong menjadi berbagai jenis makanan di Balai Adat. Anisatul Umah/Jawa Pos. Foto: Anisatul Umah/Jawa Pos

Ketela dipilih sebagai bahan makanan pokok kala itu dengan pertimbangan lebih mudah ditanam. Kebutuhan sehari-hari warga sudah terpenuhi dengan adanya lahan pertanian 40–50 hektare. Termasuk hutan dengan luas sekitar 6 hektare.

Hutan di Cireundeu itu disebut hutan larangan. Artinya, siapa saja yang menebang pohon harus menggantinya dengan tanaman yang baru.

”Tidak ada lahan adat. Yang ada hanyalah balai adat. Tanah di Cireundeu dilengkapi surat tanah dan bayar pajak,” terang Abah Widia sambil kembali mengambil rokok.

Yang menuju Kampung Cireundeu pasti akan melewati jalan bukit yang di beberapa sisinya tampak tanaman singkong. Untuk mengolahnya menjadi tepung siap olah, dibutuhkan waktu seminggu. ”Yang kami makan ampasnya,” kata Sopiah.

Tidak ada larangan warga adat Cireundeu untuk beralih dari makan beras singkong ke beras nasi. Sebagaimana juga tidak ada larangan warga adat Cireundeu untuk menikah dengan orang luar adat.

Harmoni itu juga berlaku untuk urusan kepercayaan. Para pendatang yang mayoritas muslim hidup rukun bersanding dengan warga adat yang merupakan penghayat Sunda Wiwitan.

Dari sisi kesehatan, menurut Abah Widia, mengonsumsi beras singkong justru lebih sehat. Pasalnya, kandungan gula dalam singkong lebih rendah daripada beras nasi.

Berdasar pedoman gizi seimbang yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, setiap 100 gram nasi mengandung 175 kalori, 4 gram protein, dan 40 gram karbohidrat. Sedangkan setiap 100 gram singkong mengandung 112 kalori, 1,5 gram protein, dan 38 gram karbohidrat.

Beras singkong tetap jadi pilihan Warga Kampung Cireundeu, karena selain mengenyangkan tapi juga menyehatkan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News