Kalau Mau Naik, ya Naik Saja

Kalau Mau Naik, ya Naik Saja
SPBU. Foto: Fedrik Tarigan/dok.Jawa Pos

JAKARTA - Pengamat Ekonomi dan Pasar Modal, Yanuar Rizky, mengatakan posisi Pertamina sebagai perusahaan plat merah yang dimiliki negara dan secara tidak langsung dimiliki masyarakat Indonesia memang dihadapkan dua hal; memberikan harga terbaik kepada konsumen dan di sisi lain pada saat bersamaan tetap memertahankan fundamental perusahaan agar tetap bisa menjaga keberlangsungan.
      
"Inefisiensi itu mutlak harus dihilangkan di Pertamina. Kuncinya memang harus efisien dan akhirnya mampu memberikan harga yang efisien kepada masyarakat. Harga efisien untuk masyarakat itu lah istilahnya dividen dari Pertamina untuk kita, masyarakat umum, yang tidak memiliki perusahaan secara langsung," ulasnya, kepada Jawa Pos, kemarin.
      
Dalam kondisi Pertamina sudah meyakini menghilangkan berbagai faktor inefisiensi, kata dia, bisa lebih leluasa menetapkan harga wajar produknya, termasuk jenis Pertamax. "Menurut saya kalau Pertamina sudah yakin akan harga paling wajar dan efisien, kalau mau naik ya naik saja," tegasnya.
      
Hanya memang, peraturannya, seperti juga tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas bahwa penetapan harga BBM tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar. Artinya harus ada intervensi pemerintah untuk kepentingan banyak pihak.
      
"Karena ada peraturan itu maka tidak bisa Pertamina naikkan harga seenaknya. Kalau ternyata ada potensi rugi terkait penetapan harga intervensi pemerintah, Pertamina harus lebih kuat dalam manajemen persediaan agar tidak mengorbankan perusahaan," pikirnya.
      
Yang terpenting, kata Yanuar, manajemen Pertamina jalankan tugas secara profesional saja dan tetap memberikan masukan terkait harga wajar dan ideal atas berbagai produknya. "Ya lakukan saja sebagaimana mestinya sebagai profesional. Kalau memang pilihannya harus menajalankan perintah dari pemegang saham, ya selesaikan. Yang terpenting sudah berbuat semampunya," imbuhnya.
      
Pertamina mengumumkan pada kuartal pertama tahun ini membukukan keuntungan sebesar USD 28 juta atau sekitar Rp 336 miliar. Realisasi itu jauh lebih rendah dari USD 427 juta sebagai target keuntungan kuartal pertama 2015.

Sepanjang Januari-Maret 2015, pendapatan Pertamina sebesar USD 10,67 miliar. Namun beban pokok penjualan tercatat sebesar USD 9,67 miliar dan beban usaha USD 449 juta. Laba usaha Pertamina tercatat mencapai USD 550 juta dan akhirnya laba bersih sebesar USD 28 juta.
      
Tidak tercapainya target itu terutama dipengaruhi anjloknya harga minyak dunia ke kisaran USD 50 per barel di sekitar kuartal pertama tahun ini. Padahal saat pengadaan stok di akhir tahun sebelumnya, harga beli masih jauh di atas itu. Akhirnya mau tidak mau realisasi harga jual tetap mengikuti rendahnya harga minyak di pasaran.
      
Berdasarkan data Bloomberg pada perdagangan Senin (18/05), harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Juni 2015 bergerak di area positif naik di kisaran 0,4 persen menjadi USD 59,92 per barel. Harga minyak mentah jenis Brent juga bergerak di area positif atau naik di kisaran 0,27 persen menjadi USD 66,99 per barel.
      
Konsensus analis Bloomberg menyebutkan bahwa serangan udara koalisi Timur Tengah yang dipimpin Arab Saudi kembali menyasar sejumlah posisi pemberontak di sebelah selatan Yaman setelah gencatan senjata lima berakhir kemarin, memengaruhi harga minyak dunia.
      
Konsensus analis tetap memerediksi volatilitas harga minyak dunia masih tinggi meski pada perdagangan kemarin harga minyak mengalami kenaikan mendekati level USD 60 per barel. Kenaikan harga minyak dibatasi oleh kekhawatiran berlebihnya pasokan global di tengah lemahnya permintaan. (dyn/dim/gen)


JAKARTA - Pengamat Ekonomi dan Pasar Modal, Yanuar Rizky, mengatakan posisi Pertamina sebagai perusahaan plat merah yang dimiliki negara dan secara


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News