4 Catatan Kritis FSGI soal Bibit Radikalisme di Sekolah

4 Catatan Kritis FSGI soal Bibit Radikalisme di Sekolah
Siswa-siswi SMU. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

Kedua, guru terjebak kepada pembelajaran yang satu arah. Maksudnya adalah pratik pembelajaran di kelas masih berpusat pada guru (teacher centered learning).

Guru menerangkan pelajaran, siswa mendengar. Guru tahu, siswa tidak tahu. Guru selalu benar dan siswa bisa salah.

Relasi pembelajaran yang terbangun antara guru dan siswa adalah relasi guru superior dan siswa inferior. Pola seperti ini masih banyak ditemukan oleh FSGI di sekolah-sekolah.

Tidak tercipta pembelajaran dialogis antara siswa dan guru. Penyemaian radikalisme terjadi ketika guru terbiasa mendoktrin pelajaran, apalagi dalam ilmu sosial dan agama.

Tidak terbangunnya suasana pembelajaran dialogis, mendengarkan pendapat argumentasi siswa.

Ketiga, sikap siswa yang terbuka terhadap praktik intoleransi mulai berkembang di kelas ketika diajar oleh guru yang membawa pandangan politik pribadinya ke dalam kelas.

“Guru mengajar, sambil menjelaskan materi kemudian menyisipkan pilihan-pilihan politik bahkan sikap politik pribadinya terkait calon presiden atau komentar terkait aksi terorisme yang terjadi bahwa ini adalah pengalihan isu atau mendukung konsep negara khilafah, bahkan bersimpati terhadap ISIS," ungkap Heru.

Keempat, masuknya bibit radikalisme karena sekolah cenderung tidak memperhatikan secara khusus dan ketat perihal kegiatan kesiswaan, apalagi terkait keagamaan.

FSGI memberikan empat catatan kritis terhadap pemerintah dan penyelenggara pendidikan dalam upaya menangkal radikalisme di sekolah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News