Anshor Laris

Oleh: Dahlan Iskan

Anshor Laris
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Saya tidak paham bahasa Gunung Kidul apa itu nggece. "Seperti suara dalang Hadi Sugito," ujarnya.

"Dalang terkenal dari Yogyakarta itu?" tanya saya. "Iya," jawabnya.

"Lho, beliau kan sudah meninggal jauh sebelum Anda lahir?" tanya saya. "Saya lihat di YouTube," jawabnya.

Saya senang berada di Desa Katongan, Nglipar, Gunungkidul ini. Apalagi di senja hari seperti ini. Padi menghijau, langit memerah dan perut lapar puasa mencapai puncaknya.

Saya tidak mau merepotkan tuan rumah. Saya pamit menjelang saat berbuka puasa. Ibunda Anshor bergegas menyusulkan tas kresek plastik.

"Bisa untuk berbuka di jalan," katanyi. Isinya lengkap sekali: empat botol air putih, ketela rebus, lepet dibungkus daun kelapa dan kacang rebus.

Saya pun menuju Yogyakarta. Bos Rich Hotel sudah menanti saya untuk makan malam di hotelnya yang gandeng dengan Yogyakarta Mall itu.

Saya juga sudah janji untuk salat malam di masjid Jagakaryan dan disambung ke pondok Krapyak di dekatnya.

WAKTU bermalam di kota Tabuk dulu sebagian pikiran saya di Gunungkidul. Ke seorang remaja kelas tiga SMP. Sepulang dari Makkah saya harus menemuinya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News