Bela Anies soal UMP DKI, Jumhur Sebut Upah di 3 Provinsi Ini Lebih Buruk dari Era Kolonial

Bela Anies soal UMP DKI, Jumhur Sebut Upah di 3 Provinsi Ini Lebih Buruk dari Era Kolonial
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Maritim Indonesia Jumhur Hidayat menjadi pembicara pada diskusi bertema Di Balik Serbuan Warga Asing, Jakarta, Sabtu (24/12). Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - PTUN Jakarta Timur kembali menggelar sidang gugatan APINDO DKI terhadap Keputusan Gubernur Anies Baswedan soal UMP DKI Jakarta 2022, Rabu (8/6).

Pada kesempatan ini, peneliti kebijakan publik dari Center for Information and Development Studies (CIDES) Jumhur Hidayat dihadirkan sebagai saksi.

Dalam keterangan di hadapan Majelis Hakim, Jumhur menjelaskan bahwa UMP adalah instrumen penting dalam mewujudkan keadilan sosial ekonomi.

"Dalam ASEAN 5, Indonesia yang terendah dalam persentase pembagian pendapatan untuk buruhnya, yaitu hanya 39.9% dan pemilik modal mendapat 60.1% pada 2019," jelas Jumhur.

Dengan PP 36 persentase ini, tambah Jumhur, pendapatan buruh akan semakin kecil dan artinya buruh akan semakin menderita serta ketimpangan semakin menganga.

Suasana sidang yang disesaki oleh pengunjung bahkan hingga ke luar ruang sidang itu, beberapa kali ditertibkan Ketua Majelis Hakim bahkan ada yang diusir karena berteriak mendukung penjelasan Jumhur.

Terkait dengan kelayakan upah di Indonesia, Jumhur malah membandingkam dengan jaman kolonial di tanah air.

"Pada saat Bung Karno membacakan pledoi hampir 100 tahun lalu, upah buruh per hari itu dapat membeli 6,5 Kg beras. Nah di Jabar, Jateng, dan Jatim pada umumnya saat ini upah per harinya hanya mampu membeli 5,6 Kg beras saja bila harga beras Rp. 11.000/Kg," beber dia.

Hal itu disampaikan Jumhur Hidayat saat bersaksi dalam sidang gugatan APINDO DKI terhadap keputusan Gubernur Anies Baswedan soal UMP DKI 2022

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News