Belajar dari Al-Ghazali tentang Memandang Hubungan Sains dan Agama

Belajar dari Al-Ghazali tentang Memandang Hubungan Sains dan Agama
Ulil Abshar Abdalla. Foto: Instagram Ulil

“Selama ratusan tahun sejak era Islam sampai era modernitas dalam sejarah Eropa, ilmu yang berkembang sebenarnya ilmunya Aristoteles. Salah satu ciri sains Aristoteles adalah segala hal, ada tujuan di baliknya. Karena itu cocok dengan visi orang beragama,” ujar Ulil.

Dalam diskusi yang sama, Kepala Pusat Kecerdasan Artifisial dan Teknologi Kesehatan ITS, Agus Zainal Arifin, mengatakan, diakui atau tidak, konflik antara sains dan agama memang terjadi. Agama di sini bukan hanya Islam, tapi semua yang mempercayai adanya Tuhan.

Menurut Agus, sebagai orang Islam yang beriman, jika sudah meyakini bahwa kitab suci Alquran benar, maka tidak perlu seorang Muslim mencari pembenaran. “Apalagi itu dengan pseudosains, sesuatu yang sepertinya benar untuk mendukung Alquran. Dan kita tidak boleh insecure terhadap Alquran,” ujar dia.

Mantan dekan Fakultas Teknologi Informasi dan Komunikasi ini menyatakan, orang yang ingin meraih kebahagiaan duniawi harus menggunakan ilmu, kebahagiaan akhirat pun harus pula dengan ilmu.

“Hakikatnya sains dan teknologi adalah ilmunya Allah. Tidak perlu dipertentangkan,” ujar Agus.

Direktur Eksekutif Technoe Institute Ardy Maulidy Navastara mengatakan, diskusi ini sebagai forum edukasi kepada masyarakat bahwa agama dan sains memang bukan dua hal yang bertentangan dan tidak untuk dipertentangkan.

Bahkan ketika Islam mencapai puncak kejayaan dalam bidang sains, tokoh-tokohnya adalah seorang muslim yang sangat taat.

“Lalu untuk apa dihadap-hadapkan jika keduanya sejatinya adalah milik Allah,” ujar Ardy.  (flo/jpnn)

Pemikir Islam Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan Al-Ghazali memandang sains memiliki keunikan tertentu.


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News