Empat Tahun Tsunami, Kisah Mereka yang Bangkit dari Titik Nol (3)

Sukses Berawal dari Reruntuhan Bekas Rumah Duka

Empat Tahun Tsunami, Kisah Mereka yang Bangkit dari Titik Nol (3)
Empat Tahun Tsunami, Kisah Mereka yang Bangkit dari Titik Nol (3)

Warung kopi yang dikelola Darlianto hanya berukuran 3 x 4 meter. Letaknya pun sedikit tersembunyi. Di tempat itulah bapak dua anak itu mulai merintis usaha berjualan kopi dan barang kelontong lain. "Ini tanah warisan keluarga. Jadi, saya harus merawatnya," katanya.

Darlianto mengaku kehilangan enam anggota keluar saat terjadi gelombang tsunami. Yakni, ayah-ibunya Zulkifli-Warni; adiknya, Ian Kasriani, Saripah, Aulia, dan neneknya. "Saat kejadian mereka lagi duduk di taman dekat rumah. Sampai sekarang saya juga tidak tahu di mana kuburan keluarga saya itu," katanya.

Saat kejadian itu Darlianto sedang membuka usaha ekspedisi di Jakarta. Begitu mendengar keluarganya hilang disapu tsunami, esoknya (27 Desember 2004 ) dia naik pesawat Hercules ke Aceh dan sorenya tiba di Meulaboh. "Rumah saya rata dengan tanah. Saya juga mencari-cari jenazah keluarga saya. Tapi, sampai sekarang tidak ketemu," katanya.

Karena pekerjaan di Jakarta, Darlianto saat itu harus bolak-balik Meulaboh-Jakarta. Suatu hari, saat pulang ke Meulaboh, istrinya yang berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah, ikut serta. Namun, setelah urusan di Aceh selesai, ternyata sang istri tidak mau balik ke Jakarta. Apalagi, ongkos transpornya memang sangat besar. "Akhirnya kami putuskan menetap di Meulaboh. Apalagi, (saat itu) tidak ada yang mengurusi tanah warisan keluarga kami," katanya.

Samsul Bahri, warga Calang, ibu kota Kabupaten Aceh Jaya, langsung menangkap peluang usaha setelah melihat banyak orang yang terlibat program pembangunan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News