Hakim MK Banyak Agenda, Vonis UU Pipres Terunda-Tunda

Hakim MK Banyak Agenda, Vonis UU Pipres Terunda-Tunda
Hakim MK Banyak Agenda, Vonis UU Pipres Terunda-Tunda

jpnn.com - JAKARTA - Desakan agar ada penjelasan tentang lambatnya pembacaan putusan akhirnya direspons salah seorang hakim konstitusi, Harjono. Ia mengakui  bahwa pada Maret 2013 sebenarnya hakim konstitusi memang telah mengambil keputusan terhadap permohonan yang diajukan Aliansi Masyarakat Sipil (AMS) untuk Pemilu Serentak.

Namun, keputusan yang diambil hanya pada poin penyelenggaraan pemilu serentak. "Hal-hal lain selain pemilu serentak belum diambil putusan. Tapi, putusan saat itu diambil berdasarkan pendapat-pendapat hakim secara lisan," ujar Harjono.

Harjono juga menjelaskan, penyebab putusan UU Pilpres tersebut lama dibacakan adalah banyaknya agenda hakim konstitusi. Yakni, pengucapan putusan sengketa pilkada. Adanya pergantian sejumlah hakim konstitusi juga dijadikan alasan atas keterlambatan tersebut.

"Kemudian ditambah dengan beberapa perubahan hakim. Sebelum perubahan dari Mahfud M.D. selesai, diganti Akil Mochtar. Lalu, Sodiki keluar digantikan Patrialis Akbar," terangnya.

Harjono melanjutkan, kendala pembacaan putusan UU Pilpres tersebut semakin bertambah dengan ditangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu. "Kita semua membuang energi untuk mempertahankan kredibilitas MK. Jadi, terpaksa tertunda," ujarnya.

Dia melanjutkan, saat Akil dicokok KPK, draf putusan UU Pilpres tersebut masih berada dalam tanggung jawabnya. "Setelah kita berdiskusi, draf yang dipegang Akil harus dipindahkan ke hakim lain. Jadi, akhirnya yang bertanggung jawab adalah Pak Hamdan (saat itu sebagai wakil ketua MK). Saat itu kita mulai untuk membicarakan itu," terangnya.

Masalah belum selesai. Persoalan baru timbul karena hakim konstitusi kala itu tinggal lima orang setelah ditinggal Akil, Mahfud, dan Ahmad Sodiki.

Harjono melanjutkan, majelis hakim kemudian membicarakan batas ambang bawah dan atas pencalonan presiden (presidential threshold). Karena saat itu hakim tinggal enam, terjadilah perbedaan pendapat, ada hakim yang menyatakan pemilu memerlukan presidential threshold.

JAKARTA - Desakan agar ada penjelasan tentang lambatnya pembacaan putusan akhirnya direspons salah seorang hakim konstitusi, Harjono. Ia mengakui 

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News