IAPP Nilai Pembuktian Kasus SKL BLBI Berdasarkan Asumsi

IAPP Nilai Pembuktian Kasus SKL BLBI Berdasarkan Asumsi
Pengambilan sumpah para saksi dalam persidangan dugaan korupsi terkait penerbitan SKL BLBI untuk obligor Sjamsul Nursalim dengan terdakwa eks Ketua BPPN Syafruddin A Temenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Foto: Ist.

“Waktu itu kami mengajukan keberatan karena angka itu besar dan bisa menyulitkan Dipasena di kemudian hari,” ujarnya.

Jumlah total kewajiban petambak Dipasena sebesar Rp 4,8 triliun merupakan efek dari kenaikan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terjadi saat itu. Posisi utang petambak Rp 1,5 triliun. Selebihnya merupakan akibat dari kenaikan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yakni dari Rp 2.300 menjadi Rp 11.000.

“Bahkan saat itu akibat kebijakan kurs mengambang, dolar US tembus sampai Rp 17.000. Jadi selisih dari Rp 1,5 triliun dan Rp 4,8 triliun itu tidak ada yang diterima baik oleh Bapak (Sjamsul) Nursalim petani maupun (perusahaan) inti (PT Dipasena Citra Darmaja/DCD),” kata Presiden Direktur PT DCD Mulyati Gozali ketika menjadi saksi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (23/7/2018).

Kunjungan ke Dipasena

Pada bagian lain, penuntut umum menanyakan hubungan antara Robert dan Syafruddin, terutama berkaitan dengan kunjungan ke lokasi Dipasena. Robert menegaskan, dia tidak pernah berkunjung ke lokasi Dipasena di Lampung, apalagi tergabung dalam rombongan ketua BPPN ketika melakukan kunjungan resmi ke Dipasena pada 2003.

Syafruddin menjelaskan kunjungan pada 2003 sebagai ketua BPPN ke Dipasena itu dalam rangka revitalisasi dan penyelesaian masalah tambak. “Itu rombongan BPPN dan pada waktu kami datang ke sana dijemput oleh komisaris utama dan direksi. Komisaris utama Pak Jenderal Wismoyo (Arismunandar). Jadi itu rombongan besar. Dan saya yakin dalam rombongan saya itu tidak ada Pak Robert. Saya yakin itu. Itu rombongan resmi BPPN. Sampai 8 desa itu selesai. Kami langsung berhubungan dengan kepala desa dan petambaknya. Berkomunikasi menyelesaikan masalah,” ujarnya.

Syafruddin pun menegaskan dia baru kenal dengan Robert pada 2006, ketika dirinya sudah tidak lagi menjabat ketua BPPN. Sebagai informasi, BPPN dibubarkan pada 30 April 2004.
Sementara itu, saksi Alex ditanya oleh penuntut umum mengenai hubungan sejumlah perusahaan yang dijalankannya bersama Syafruddin yang bergerak di bidang kelapa sawit, hydro-energy, properti, dan investasi.

Alex menjelaskan perusahaan-perusahaan itu berbadan hukum resmi dan sebagian besarnya belum beroperasi. Alex mengaku kenal Syafruddin sejak semasa menjadi mahasiswa ITB pada tahun 1974.

Sejauh persidangan berlangsung hingga saat ini, justru memperkuat bukti bahwa penerbitan SKL pada April 2004 itu merupakan produk kebijakan negara yang sah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News