Keuangan Syariah Jadi Solusi Utama Pembiayaan Pembangunan RI

Keuangan Syariah Jadi Solusi Utama Pembiayaan Pembangunan RI
Ketua Umum DPP PKB A. Muhaimin Iskandar (tengah) bersaa pembicara Diskusi Publik dengan tema “Prospek Indonesia Sebagai Pusat Keuangan Syariah Global” di Jakarta, Jumat (5/11). Foto: Dok. PKB

Menurutnya, Partai Kebangkitan Bangsa memandang bahwa Indonesia seharusnya bisa memimpin dan menjadi pusat keuangan syariah dunia. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan dan perbankan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan impian yang mustahil karena potensi Indonesia untuk menjadi pemain inti keuangan dan perbankan syariah sangat besar.

Dilihat dari jumlah pelaku industri keuangan syariah di Indonesia yaitu perbankan, pasar modal dan IKNB boleh dibilang sangat banyak. Industri perbankan syariah saat ini terdiri dari 13 bank umum syariah, 21 bank unit syariah, dan 167 BPR syariah, memiliki total aset Rp 389,7 triliun atau 5,44 persen dari total aset perbankan nasional. IKNB syariah terdiri dari 59 asuransi syariah, 38 pembiayaan syariah, 6 penjaminan syariah, 10 LKM syariah dan 10 IKNB syariah lainnya, memiliki aset Rp99,15 triliun atau 4,78 persen dari total aset IKNB nasional.

Sampai Agustus 2017, jumlah Sukuk Negara outstanding mencapai 56 seri atau 33,53% dari total jumlah Surat Berharga Negara outstanding sebanyak 167, dengan nilai outstanding mencapai Rp524,71 triliun atau 16,99 persen dari total nilai surat berharga negara outstanding sebesar Rp3.087,95 triliun. Sukuk korporasi outstanding per 31 Agustus 2017 sebanyak 68 seri dengan nilai sebesar Rp14,259 triliun.

Jumlah reksadana syariah per 31 Agustus 2017 sebanyak 160 atau meningkat sebesar 17,65 persen dibandingkan akhir tahun 2016 yaitu 136. Sementara NAB per 31 Agustus 2017 sebesar Rp 20,62 triliun atau meningkat 38,30% dibandingkan NAB akhir tahun 2016 sebesar Rp14,91 triliun.

Melihat potensi yang dimiliki Indonesia, terutama dengan memanfaatkan bonus demografi dan prospek pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka pengembangan keuangan syariah diharapkan turut berkonstribusi dalam mendukung transformasi perekonomian pada aktivitas ekonomi produktif, bernilai tambah tinggi dan inklusif. Tantangan yang masih dihadapi adalah masih kurangnya awareness, pemahaman dan utilitas masyarakat terhadap produk keuangan syariah.

Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Keuangan OJK Tahun 2016, tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia masih jauh dari maksimal yaitu sebesar 8,11 persen dengan tingkat inklusi mencapai 11,06 persen. Ini artinya, hanya 8 dari 100 orang yang memahami produk dan layanan keuangan syariah dan terdapat sebanyak 11 dari 100 orang yang memiliki akses terhadap produk dan layanan lembaga jasa keuangan syariah.

Untuk itu, PKB juga mendesak penguatan sinergitas kepada otoritas terkait keuangan syariah di Indonesia seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI agar membuat regulasi yang efesien dan efektif untuk mendukung perkembangan ekonomi syariah.

Supaya tidak tumpang tindih, menurut Muhaimin, maka regulasi ketiga institusi tersebut harus sesuai dengan tupoksinya masing-masing, misalnya Bank Indonesia dalam pengembangan keuangan syariah tetap fokus pada kebijakan makroprudensial. Begitu juga OJK yang memiliki otoritas pada kebijakan mikroprudensial-nya; dan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yang menjaga kesyariahan segala kegiatan transaksi keuangan syariah, sehingga pada akhirnya akan mempercepat tingkat literasasi keuangan syariah di Indonesia tentunya.

Indonesia seharusnya bisa memimpin dan menjadi pusat keuangan syariah dunia serta layak jadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan dan perbankan syariah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News