Kisah Satgas Marinir-1 Surabaya Amankan Pulau Terluar

Berteman Laut Pasang, Puting Beliung, dan Dingin Mencekam

Kisah Satgas Marinir-1 Surabaya Amankan Pulau Terluar
UJUNG TOMBAK: Anggota Pasmar-1 Surabaya yang menjadi Satuan Tugas Marinir Pengamanan Pulau Terluar menjaga Kepulauan Fani. (Pasmar-1 Surabaya for Jawa Pos)

Sebagian besar pulau terluar punya garis pantai dan karang yang agak jauh dari daratan. Selain itu, belum semua punya fasilitas dermaga, baik yang paten maupun yang apung. Cuaca di kawasan bibir Samudra Pasifik tersebut juga dikenal kurang bersahabat dan cenderung ekstrem. Perlu kecakapan pendaratan dari kapal pengantar atau perahu yang berukuran tidak terlalu besar. Banyaknya barang bawaan, baik satuan maupun pribadi, mengharuskan setiap pendaratan punya teknik keseimbangan.

Kecakapan pendaratan juga diperlukan saat menurunkan perbekalan logistik. Setengah tahun bertugas, mereka dipasok beras belasan kuintal dari pos komando taktis Sorong. Waktunya tiga bulan sekali, bahkan bisa molor. Itu bergantung pada cuaca dan keberanian nelayan mengirim sembako. Ketinggian gelombang air laut banyak membuat kapal perintis berpikir ulang. ’’Biasanya, hanya nelayan pemburu hiu bernyali tinggi yang nekat membantu,’’ timpal Roby.

Saat pendaratan, material maupun beras tidak boleh sampai terjatuh ke air. Selama pratugas di Gunungsari maupun Grati, mereka dituntut menguasai teknik pendaratan. Salah satunya melintasi titian keseimbangan papan kayu memanjang yang digantung dengan tambang di kiri dan kanannya. Pratugas semakin berat saat diuji bertahan hidup. Dalam simulasi, mereka dipaksa survive tanpa bekal. Prajurit dituntut memaksimalkan potensi alam Gunungsari dan Grati.

Keterbatasan air tawar mengharuskan mereka menandon air tatlaka hujan. Jika hujan tidak turun, solusi lain adalah menampung air laut dalam galian atau dengan wadah penyaringan.

Kondisi alam memang ekstrem. Saat air pasang, jarak pos hanya sekitar 4 meter dari laut. Saat badai dan angin puting beliung tiba, para anggota tawakal sembari mengamankan diri dari berbagai kemungkinan. Hawa dingin ketika tengah malam-dini hari serta panas saat siang terik menjadi hal biasa yang dihadapi.

Meski dibekali beras untuk keperluan tiga bulan sekali, beras bisa lebih cepat habis. Penyebabnya bukan konsumsi yang melebihi takaran. Tetapi, serangan hewan pengerat berupa tikus pulau membuat jatah beras prajurit berkurang. Pantangan adat yang melarang membunuh tikus membuat anggota berusaha mematuhi kearifan lokal tersebut.

’’Pernah suatu waktu karena sudah jengkel, kami berondongi tikus itu dengan tembakan. Tidak lama setelah siang itu, terasa ada gempa dan badai lumayan besar,’’ kenang prajurit yang 3 Oktober nanti genap 28 tahun tersebut. Kebetulan pada saat bersamaan, beberapa rekannya memanjat pohon kelapa. Akibat gempa sesaat itu, personel yang hendak mengambil buah kelapa terjatuh. Untungnya, mereka tidak cedera parah. Sebuah pohon besar dengan diameter sepanjang keliling enam orang yang melingkari pohon tersebut juga tumbang.

Pantangan lain yang berlaku di pulau terluar itu adalah membakar seafoodjenis kepiting seperti rajungan maupun lobster. Ikan jenis lain diperbolehkan. Belum ada alasan rasional yang menjelaskan larangan tersebut.

KONFLIK perbatasan negara di Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Mei lalu mengusik Praka Mar Roby Eka Sanjaya. Langkah Malaysia membangun mercusuar

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News