Kisah Spiritual: La Tansa, Cucu

Oleh: Prof Dr Samsul Wahidin

 Kisah Spiritual: La Tansa, Cucu
Prof Dr Samsul Wahidin. Foto For Radar Malang/JPNN.com

Namun, akhirnya dengan iming-iming sangu dan mainan, serta akan diajak rekreasi dia mau makan sahur. Tentu saja terkadang dengan bercucuran air mata karena setengah dipaksa.

Dari hari ke sepuluh sampai kedua puluh tampaknya sudah mulai biasa. Saya amati, memang godaannya berat, pada tengah hari sering merengek minta berbuka, kemudian puasanya nyambung hingga Magrib.

Tetapi dengan bujuk rayu atau iming-iming tadi ternyata berlangsung puasanya sampai Magrib. Tanpa bolong.

Saya jadi teringat masa kecil dulu, seusia cucu saya itu. Oleh karena di desa, sahurnya apa yang ada. Kadang hanya ketela, atau nasi sedikit dengan lauk seadanya. Tetapi senantiasa ditekadkan oleh orang tua yang sudah almarhum, bahwa puasa itu harus dilatih, bahkan setengah dipaksa.

Kata orang tua, yang saya ingat dan kemudian saya tularkan kepada cucu adalah bahwa di dalam belajar berpuasa itu senantiasa penuh godaan. Itulah sebabnya dia masuk rukun Islam ketiga.

Artinya memang berat. Namun demikian, jika tidak dipelajari mulai dini, tentu akan berat terus dan pada akhirnya akan menganggap remeh pelaksanaan puasa.

Saya ingat betul untuk memulai memuaskan anak seusia cucu ini memang berat. Orang tua harus telaten. Benar-benar sabar dan telaten untuk membimbing putra-putrinya.

Kalau tidak, maka akan mengawali puasanya menjadi sulit. Untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri agar berpuasa secara konsisten tidak mudah.

Biasanya istilah la tansa (bahasa Arab) itu digunakan untuk memberi nama kedai, tempat fotokopi, atau yang lain.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News