Kisah Wartawan-Wartawan Tua dalam Kenangan Rosihan Anwar

Kisah Wartawan-Wartawan Tua dalam Kenangan Rosihan Anwar
Rosihan Anwar. Foto: Driwancybermuseum

jpnn.com - Rosihan Anwar, mantan pimpinan PWI--organisasi wartawan yang hari ini berulang tahun--ada cerita tentang wartawan-wartawan tua.
 
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
 
“Bung tidak tergerak menulis buku tentang wartawan-wartawan tua?” tanya seseorang kepada Rosihan Anwar, jurnalis legendaris Indonesia yang juga menulis sejumlah buku.
 
“Buat apa,” jawab Rosihan, “generasi muda sekarang tidak kenal mereka. Juga tidak peduli apakah mereka wartawan pejuang.”
 
“Justru karena itu,” sahut orang itu. “Bung harus tulis buku. Hanya Bung yang banyak tahu tentang wartawan-wartawan tua itu. Supaya perjuangan mereka jangan dilupakan.”
 
“Ah, biarlah. Saya tidak melihat kegunaannya menulis tentang wartawan-wartawan tua,” pungkas Rosihan.
 
Dialog itu terjadi di Gedung Dewan Pers, Jakarta, 29 November 1985. Pada, “malam sukuran menghormati Asad Shahab, wartawan pejuang dari zaman revolusi,” tulis Rosihan Anwar dalam Kesedihan Wartawan Indonesia, dimuat Sinar Harapan, edisi Rabu, 11 Desember 1985.
 
Sepekan setelah malam sukuran di gedung Dewan Pers itu, Rosihan diminta oleh Pusat Pendidikan dan Latihan Departemen Luar Negeri memberikan ceramah di kelas Public Relations, Sekolah Staf Dinas Luar Negeri Angkatan VIII, tentang Sejarah Pers di Indonesia.
 
Untuk menyegarkan kembali ingatan, Rosihan membaca lagi beberapa buku di perpustakaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Rosihan sendiri pernah menjabat Ketua PWI.
 
“Di antaranya saya balik-balik sebuah penerbitan stensilan berjudul Kenangan Sekilas Perjuangan Suratkabar—Sejarah Pers Sebangsa, ditulis oleh Sekjen Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) pada masa itu, yakni Raden Mas Sudarjo Tjokrosisworo,” kenang Rosihan.
 
Membaca buku itu, lamunannya melayang-layang. Ingat masa-masa berjuang. Ia lena mengenang perjuangan para wartawan dalam merintis kemerdekaan Indonesia. Rosihan dibalut haru. Ia menangis.
 
“Ini bukan sedih dibuat-buat. Juga bukan lantaran cengeng. Atau akibat usia lanjut. Orang bilang, jika sudah berusia lebih dari 60 tahun, ada kecenderungan kita mudah dan lekas menangis…Kesedihan ini sungguh-sungguh,” tulisnya.
 
Menurut dia, pengorbanan dan perjuangan wartawan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia dinilai seperti tidak ada apa-apa.
 
“Waktu saya masih jadi menjadi Ketua Umum PWI Pusat, dalam sebuah pertemuan antara pengurus PWI Pusat dengan KSAD Jenderal Surono, beserta stafnya dari MBAD, saya dengan lugu berkata, “sebelum ada TNI di negeri kita ini, sudah ada wartawan Indonesia.” Ini fakta sejarah yang tak dapat dibantah,” paparnya.

Rosihan lantas membeberkan kisah Tirto Adisurjo, wartawan pendiri koran Medan Prijaji yang membidani lahirnya Sarekat Dagang Islam—kemudian menjadi Sarekat Islam. Organisasi yang pada awal Abad 20 menentang kolonialisme Belanda.
 
Dikisahkannya, jurnalistik dan politik punya hubungan sangat erat di zaman perjuangan pergerakan rakyat melawan penjajah. Bahkan pemimpin politik pada masa itu, merangkap pemimpin redaksi suratkabar.
 
Antara lain, “Soekarno memimpin Soeloeh Indonesia dan Fikiran Rakjat. Hatta dan Sjahrir mempunyai Daulat Rakjat. Dr. Ratulangie menerbitkan Nationale Comentaren.”
 
Rosihan Anwar benar. Politik dan jurnalistik memang berkelindan.
 
Setelah membuka-buka lagi catatan sejarah, didapati fakta bahwa Bagindo Aziz Chan, Walikota Padang yang gugur dalam perang revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia (1945-1949) ternyata pendiri koran Tjahaja Padang.
 
Alangkah berbahayanya para wartawan di mata penjajah.
 
Di Jakarta, “pada tanggal 19 April 1946, Polisi NICA melakukan penggerebekan terhadap kantor berita APB,” tulis A.M. Shahab dalam Sang Penyebar Berita Proklamasi. APB singkatan dari Arabian Pres Board.
 
Di Sumatera Tengah, percetakan Oetoesan Soematra dihancurkan Sekutu, dan kegiatan penerbitan terhenti pada akhir 1946.
 
Di Medan, Sekutu membredel koran Pewarta Deli, dan memenjarakan wartawannya;  A.O Lubis. 

Banyak lagi kisah-kisah heroik wartawan dalam panggung perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Dan, kembali ke kenang-kenangan yang ditulis Rosihan Anwar.

Dia lagi-lagi benar. Dalam tulisannya mengenai wartawan-wartawan tua, Rosihan menulis…
 
“Bukan maksud saya menggambarkan wartawan-wartawan zaman dahulu itu sebagai semacam superman dan super idealis. Merekan pun hanyalah manusia biasa saja dengan berbagai sifat eksentrik.”
 
Dengan jenaka, Rosihan bercerita tentang seorang redaktur koran kenamaan di Solo yang tidak bisa menulis kalau belum minum ciu—sejenis arak.
 
Begitulah senarai kenang-kenangan tentang wartawan tua dari Rosihan Anwar, mantan Ketua Umum PWI--organisasi wartawan yang hari ini, 9 Februari berulang tahun. Selamat panjang umur… (wow/jpnn)


Dengan jenaka, Rosihan bercerita tentang seorang redaktur koran kenamaan di Solo yang tidak bisa menulis kalau belum minum ciu—sejenis arak.


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News