Lahir di Kapal, Mayat Bayi Dibuang ke Laut

Lahir di Kapal, Mayat Bayi Dibuang ke Laut
KEMANUSIAAN: Nelayan Aceh menggunakan perahunya untuk menyelamatkan pengungsi Rohingya, Myanmar, Rabu (20/5). Foto: Binsar Bakkara/AP Photo

’’Kami tidak bisa memberikan akses untuk masuk. Sebab, ini perintah wali kota. Saat ini, kami masih punya tanggungan 600 pengungsi di Kuala Langsa. Wali kota tidak sanggup jika harus ditambah,’’ jelas Wakapolres Langsa Kompol Hadi Saeful.

’’Lagi pula, bantuan pengungsi kan pakai uang negara. Amat sayang jika itu diberikan semua kepada mereka. Toh, kami pun masih banyak yang susah,’’ lanjutnya.

Syahrul pun langsung membantah. ’’Kan sudah kami tegaskan, soal pembiayaan, semua kami tanggung. Tim medis dan pengamanan juga dari kami,’’ tegasnya.

Kasatpol PP Kota Langsa Yudi Febriyansyah Putra menegaskan, Pemkab Aceh Timur tidak boleh menempatkan pengungsi di Kota Langsa, meskipun menggunakan aset milik Pemkab Aceh Timur. ’’Secara administratif, itu kan daerah kami. Jadi, tidak bisa seenaknya saja. Mereka harus izin dulu. Jika kami tidak mengizinkan, ya berarti tidak boleh,’’ ujarnya.

Setelah menunggu lebih dari tujuh jam, keputusan menyedihkan memaksa 399 pengungsi Myanmar dan 43 pengungsi Bangladesh itu balik menuju Aceh Timur. Mereka lantas ditempatkan di bekas pabrik kertas di Desa Bayeun Keude, Kecamatan Rantau Selamat, Kabupaten Aceh Timur. Pemkot Langsa dengan tegas tidak mengizinkan mereka masuk kota.

Pingpong antara dua pemerintah daerah tersebut mengakibatkan para pengungsi semakin menderita. Lebih dari tujuh jam mereka berdiam diri di dalam bus dan truk yang sumpek, sesak, serta panas.

Saat pemerintah daerah setempat setengah hati menolong, warga di sekitar perbatasan tapal batas kota tergerak untuk mengulurkan tangan. Lewat pengeras suara masjid, lamat-lamat terdengar lantunan ayat Alquran dan hadis yang memerintahkan untuk membantu para pengungsi yang disuarakan para pemuka agama. Bantuan pun berdatangan. Mulai pakaian, minuman, makanan, dan barang-barang lain seperti rokok. Warga membagikannya secara sukarela.

Cuaca panas membuat Aisyah, 25, pengungsi Rohingya, bergeser duduk ke pintu bus. Dia hanya melamun dan menunduk. Tiba-tiba, air matanya bercucuran setelah diberi sekresek makanan oleh Nenek Meutia. ’’Ingat dia, saya jadi ingat anak saya,’’ kata Meutia terharu. (wam/owi/bil/c5/sof)

JULOK - Samaita Beighom, 18, salah seorang pengungsi Rohingya, hanya bisa meringis dan menggertakkan gigi berulang-ulang di atas ranjang kamar persalinan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News