Maria Ressa

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Maria Ressa
Maria Ressa. Foto: REUTERS/Eloisa Lopez

Enam jurnalis yang bekerja untuk Muratov ditemukan tewas karena berbagai sebab yang misterius.

Ketika mengumumkan kemenangan Ressa dan Muratov (8/10), Komite Nobel mengatakan bahwa jurnalisme yang bebas, independen, dan berdasarkan fakta sangat penting untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan, kebohongan, dan propaganda perang.

Ressa pernah menjadi kepala biro CNN di Filina dan pernah lama meliput di Indonesia. Ini bukan penghargaan internasional pertama yang dia terima.

Pada 2018, Majalah TIME menobatkannya sebagai Person of the Year. Penghargaan ini diberikan oleh TIME terhadap tokoh-tokoh yang dianggap mempunyai peran dan pengaruh besar dalam percaturan peta politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan.

Kiprah Ressa di dunia jurnalistik, dengan keberaniannya mengkritisi rezim otoriter Dutarte, dianggap sangat inspiratif dan mampu memberi perubahan signifikan terhadap kebebasan berekspresi di seluruh dunia.

Ressa mempunyai keberanian dan keteguhan yang mengagumkan. Ia kerap bertarung di meja hukum dengan Duterte atas berbagai persoalan, mulai dari tuduhan penyebaran berita bohong hingga melanggar undang-undang kepemilikan asing atas media massa Filipina.

Salah satu liputan Ressa yang paling konsisten adalah pengungkapan berbagai pelanggaran yang dilakukan Duterte dalam perang melawan narkoba. Duterte dikenal sangat keras dan tegas dalam kebijakan ‘’war on drug’’, perang melawan narkoba.

Duterte tanpa ampun menerapkan hukum besi kepada pelaku perdagangan gelap narkoba. Tidak terhitung berapa banyak korban yang terbunuh dari kalangan mafia narkoba akibat kebijakan keras Duterte.

Haruskah pers di dunia termasuk Indonesia malu kepada Maria Ressa dan Dmitry Muratov?

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News