Menilik Upaya Jepang Menambah Jumlah Penduduknya

Menilik Upaya Jepang Menambah Jumlah Penduduknya
PROBLEM KEPENDUDUKAN: Para perempuan lanjut usia di Bandara Internasional Fukuoka, Jepang. Mereka ada di mana-mana. (Ariyanti Kurnia/Jawa Pos)

jpnn.com - Berdasar data Ministry of Health, Labour, and Welfare (MHLW) Jepang pada April 2014, sebesar 25 persen warga mereka saat ini berada dalam kelompok usia 65 tahun ke atas. Angka itu menunjukkan tren naik karena empat tahun sebelumnya masih 22 persen. Berikut catatan wartawan Jawa Pos (Induk JPNN) ARIYANTI KURNIA yang baru saja berkunjung ke Negeri Sakura itu.

USIANYA sudah lebih dari 40 tahun. Namun, Kanako Shiga masih menikmati kesendiriannya. Tidak ada rencana untuk mengakhiri masa lajang dalam waktu dekat. Kesibukan sehari-hari bekerja sebagai pegawai di departemen milik pemerintah dianggap sudah cukup menghabiskan waktunya.

Berangkat setiap pagi naik subway sekitar 15 menit ke kantornya di Chiyoda dan pulang saat petang dalam keadaan lelah. Perempuan yang tinggal sendiri di sebuah flat di pinggir Kota Tokyo itu bagaikan tidak punya waktu untuk membuka lembar asmara. Aktivitasnya makin padat jika ada tugas luar kota. ’’Saya harus fokus bekerja,’’ tegasnya.

Kanako tidak sendiri. Sangat banyak perempuan Jepang yang memutuskan untuk tidak memasukkan pernikahan sebagai bagian dari sejarah hidup. Biasanya mereka adalah para sarjana yang lebih memilih karir daripada hal-hal lain. Pernikahan di Jepang dari waktu ke waktu memang dianggap sesuatu yang tidak lagi menarik. Sebaliknya, memilih tetap single justru semakin diminati.

Survei oleh majalah perempuan di Jepang Joshi Spa! pada 2013 mengungkap bahwa 33,5 persen dari 37.610 responden tidak melihat adanya manfaat sebuah pernikahan.

’’Saat sendiri, kamu bebas menggunakan uangmu. Tidak masalah berapa pun yang kamu keluarkan untuk hobi atau segala kegemaran. Begitu menikah, semua lenyap. Dengan kondisi itu, bukankah memang tidak ada keuntungannya menikah?’’ Demikian alasan salah seorang responden.

’’Saya tidak suka anak-anak. Jadi, buat apa menikah?’’ kata responden yang lain. Hal tersebut tidak hanya berlaku pada perempuan, namun juga para pria.

Keputusan itulah yang menjadi salah satu latar belakang minimnya angka kelahiran di Jepang. Jumlahnya terus merosot. Kementerian kesehatan merilis, tahun lalu hanya ada 1.001.000 bayi yang lahir. Turun 9 ribu jika dibandingkan dengan 2013. Sementara itu, angka kematiannya lebih besar, yakni 1,3 juta orang pada 2014.

Berdasar data Ministry of Health, Labour, and Welfare (MHLW) Jepang pada April 2014, sebesar 25 persen warga mereka saat ini berada dalam kelompok

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News