Menyumbang Oksigen Bumi Lewat Kareumbi

Menyumbang Oksigen Bumi Lewat Kareumbi
Foto: Pertamina for JPNN.com

“Namun apa daya hutan sudah kadung gundul,” ungkap Direktur Konservasi, UUO Manajemen Pengelola Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi,Sandyakala Ningtyas yang akrab  dipanggil Echo.

Echo menuturkan bahwa modus penebangan pohon yang dilakukan pengelola saat itu terbilang cerdik dan efisien tanpa mengeluarkan biaya. Pengelola terdahulu memberdayakan tenaga gratis dari masyarakat, dengan iming-iming pembukaan lahan bercocok tanam. “Silahkan ajah garap, tapi ini yah nitip kayunya,” Echo menirukan.

Cara tersebut memang sangat hemat dan efisien ketimbang cara yang dilakukan oleh Echo yang membuka lahan sendiri dengan tenaga dan biaya sendiri.  Namun setelah lahan-lahan tersebut dibuka dan digunakan untuk berkebun, sedimentisasi lahan kemudian semakin tinggi akibat pola bercocok tanam yang tidak membumi dengan menggunakan mulsa atau penutup tanah berbahan plastik yang menyebabkan run off saat terjadi hujan deras. 

Erosi kemudian meninggalkan bekas dengan sendimentasi yang sukses menenggelamkan danau-danau disekitar kawasan. Seperti yang terjadi pada Situ (danau) Gamlok yang kini  berubah menjadi rawa-rawa. Echo mengungkapkan bahwa seharusnya danau-danau tersebut ada demi keseimbangan alam yang bisa menahan air selama mungkin di hulu jangan langsung ke hilir.

Sampai tahun 2008, kawasan ini terutama area “KW”  berada dalam kondisi terbengkalai. Infrastruktur dan bangunan yang dibangun oleh pengelola sebelumnya termasuk oleh pemerintah dan berbagai program yang telah diluncurkan lambat laun rusak. Selain itu, perambahan kawasan untuk pertanian dan pengambilan kayu untuk keperluan bahan bangunan serta kayu bakar juga marak. Demikian juga perburuan liar yang menyebabkan satwa terutama rusa tak berbekas.

Pada sekitar tahun 2006, sesepuh Wanadri yang sering melakukan perjalanan ke kawasan ini,  Remi Tjahari (W-090-LANG) melihat potensi kawasan yang sangat besar. Namun di balik potensi kawasan sebagai daerah konservasi dan sangat layak dikembangkan untuk wisata dan pendidikan alam terbuka juga terdapat potensi kerusakan lingkungan bila tidak dikelola dengan baik. Akhirnya pada tahun 2007, Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri menyampaikan minat untuk melakukan pengelolaan kawasan pada pihak Kementrian Kehutanan dan BBKSDA.

Setelah melalui proses prersentasi yang memakan waktu panjang yang berakhir persetujuan, maka pada akhir tahun 2008 dibentuklah tim yang disebut Tim Manajemen Pengelola Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi. Sejak itu tim mulai bekerja melakukan pembenahan di kawasan utama yang disebut “KW” (Kawasan Wisata). Model pembenahan kawasan dengan cara cost-recovery dan pola pelibatan masyarakat sekitar kawasan serta kolaborasi dengan berbagai pihak.  Strategi tersebut menjadi andalan tim manajemen ini.

Program-program awal yang dilakukan di sini adalah Pendidikan & Pelatihan serta Program Konservasi Wali Pohon. Sejak diperkenalkan pada akhir 2008 sampai Maret 2009, program Wali Pohon telah menanam sejumlah 10.500 batang pohon dengan model adopsi bergaransi selama 5 tahun. Namun dengan berbagai pertimbangan masa garansi atau pemeliharaan tersebut kemudian dipersingkat menjadi tiga tahun.

Ikut ambil bagian di program Wali Pohon, Pertamina menanam 100 ribu bibit pohon di Kawasan Konservasi Gunung Masigit Kareumbi. Andil dalam melestarikan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News