MUI Desak DPR Percepat Pembahasan RUU KUHP

MUI Desak DPR Percepat Pembahasan RUU KUHP
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi. Foto: Istimewa

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi prihatin dengan semakin berkembangnya pemikiran dan budaya hidup sebagian masyarakat yang sekuler, liberal, jauh dari nilai-nilai agama serta kesusilaan. Hal ini tidak sesuai dengan jati diri bangsa yang berdasarkan Pancasila, termasuk sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.

"MUI mendorong DPR dan presiden menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tentang pasal perzinahan (Pasal 284), pasal perkosaan (Pasal 285) dan pasal pencabulan atau LGBT (Pasal 292) KUHP," kata Zainut, Minggu (21/1).

DPR dan pemerintah, lanjutnya, harus segera membahas dan menetapkan RUU KUHP menjadi UU dengan serius. Di samping memperhatikan, menyerap dan mengakomodasi aspirasi yang berkembang di masyarakat yaitu memasukkan unsur pelaku kejahatan tidak dibatasi kepada kategori orang-orang tertentu saja dalam merumuskan pasal-pasal kesusilaan: perzinaan, perkosaan, dan pencabulan (LGBT) dalam pembahasan RUU KUHP.

MUI, lanjut Zainut, menengarai dalam pembahasan pasal-pasal RUU KUHP tersebut di atas, DPR mengalami kebuntuan karena tidak adanya kesepahaman fraksi-fraksi dalam memahami pasal-pasal tersebut. Ada fraksi yang semangatnya menolak atau tidak setuju. Ada fraksi yang menerima atau setuju dengan perluasan makna pasal-pasal tersebut.

"Kami berharap DPR transparan dalam proses pembahasannya agar masyarakat bisa mengikuti perkembangan pembahasannya," terangnya.

MUI mengajak seluruh komponen masyarakat khususnya umat Islam Indonesia untuk terus mengikuti, mencermati dan mengawal pembahasan RUU KUHP di DPR, agar hasilnya sesuai dengan aspirasi dan tuntutan masyarakat Indonesia.

Sebagaimana diketahui MK telah memutuskan menolak permohonan uji materi agar MK memberikan perluasan makna dalam pasal perzinaan (Pasal 284), pasal perkosaan (Pasal 285) dan pasal pencabulan atau LGBT (Pasal 292) KUHP dengan alasan Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan tindak pidana baru sebab kewenangan tersebut berada di tangan Presiden dan DPR.

MUI menyesalkan Putusan MK tersebut karena MK tidak berani mengambil terobosan hukum di tengah mendesaknya kebutuhan masyarakat terhadap perlindungan terhadap kejahatan kesusilaan.

MUI mendorong DPR dan presiden menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tentang pasal perzinahan, pasal perkosaan, dan pasal pencabulan atau LGBT dalam KUHP

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News