'Normal' Mahal, Siri Jadi Pilihan

'Normal' Mahal, Siri Jadi Pilihan
KILAT: Tempat praktik jasa nikah siri di kawasan Tebet, Jakarta. FOTO: Gunawan Sutanto/JAWA POS

jpnn.com - SELALU ada dalil yang diajukan para pebisnis nikah siri. Mereka selalu meyakinkan pemakai jasanya bahwa pada dasarnya pernikahan secara siri adalah sah. Yang membedakan dengan pernikahan "normal" saat ini hanyalah pencatatan di lembaran negara, yakni buku nikah.

Itu pun baru dibedakan sejak lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1973 tentang Perkawinan.

Menurut anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Aminudin Yakub, ada beberapa dalil yang digunakan para pelaku bisnis nikah siri dalam menjerat korbannya. Dalil utama adalah hukum asal nikah. Dalam fikih nikah, ada tiga mazhab yang berbeda, yakni Syafii, Hanafi, dan Maliki.

Mazhab Syafii mensyaratkan keabsahan nikah dengan empat hal, yakni mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul. Mazhab Hanafi lebih longgar dengan tidak mewajibkan adanya wali nikah. Artinya, mempelai bisa dinikahkan penghulu. Sebaliknya, mazhab Maliki mewajibkan adanya wali, namun tidak wajib ada saksi.

Melihat hal tersebut, pemerintah pun meminta para ulama memutuskan hukum nikah yang akan digunakan masyarakat Indonesia. "Perbedaan mazhab itu berpotensi menimbulkan kekacauan," tutur Amin, sapaan Aminudin Yakub. Hukum yang ditetapkan ulama lalu diadopsi dalam UU Perkawinan.

Melalui musyawarah ulama se-Indonesia, disepakati hukum nikah yang berlaku di Indonesia menggunakan mazhab Syafii. Dasarnya, mazhab itu dinilai paling kuat dan mayoritas masyarakat Indonesia merupakan penganut Syafiiyah.

Rupanya, keputusan tersebut masih menimbulkan mudarat, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Laki-laki masih bebas menikah semau dia. Akhirnya, ditambahkanlah pencatatan dalam lembaran negara untuk menghindari dampak negatif pernikahan. Kemudian ditambah lagi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS.

Dari situ muncul pembedaan jenis nikah. Pernikahan yang tidak dicatatkan dalam lembaran negara dianggap sebagai nikah siri meskipun telah memenuhi empat syarat dalam mazhab Syafii. Secara otomatis, mustahil negara mengharamkan nikah siri.

Idealnya, dengan dimasukkannya hukum Islam ke dalam hukum positif negara, menurut Amin, seharusnya tidak boleh lagi ada perdebatan soal nikah. Pernikahan Islam di Indonesia harus mengikuti mazhab Syafii plus pencatatan. "Sebagian ulama memasukkan pencatatan dalam rukun nikah. Namun, sebagian ulama yang lain menilai pencatatan oleh negara bukanlah rukun nikah," lanjutnya.

Setelah bertahun-tahun UU Perkawinan berlaku, MUI mulai menemukan banyak efek negatif nikah siri. Maka, dalam Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2008, diputuskan pernikahan siri itu telah memenuhi syarat meski tidak dicatatkan. "Namun, ada tambahannya. Jika pernikahan siri tersebut membawa mudarat, hukumnya menjadi haram," tegas dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Klaim para pebisnis nikah siri bahwa yang mereka lakukan itu syar'i (sesuai dengan syariat) masih bisa diperdebatkan. Yang paling utama adalah persoalan wali nikah. Wali nikah dibagi menjadi dua, yakni wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah keluarga, dimulai dari ayah, kakek, saudara laki-laki, paman, hingga sepupu.

Wali hakim hanya bisa digunakan jika tidak ada wali nasab atau wali nasab memilih menyerahkan perwalian kepada hakim. "Tapi, perlu diingat, wali hakim yang sah adalah yang ditunjuk negara, jadi tidak semua orang bisa jadi wali hakim," ujarnya.

Permasalahan nikah siri itu pulalah yang memunculkan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama. Menurut ayah tiga putra tersebut, semangat yang dibawa RUU itu sangat baik, yakni mendorong pernikahan yang tercatat. Hal tersebut bisa dilihat dari substansinya. Misalnya, orang yang tidak berhak menjadi wali, lalu memaksakan diri menjadi wali bisa dipidana. Berikutnya, orang yang tidak berhak menikahkan memaksa untuk menikahkan bisa dipidana.

Amin mengatakan, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk melawan bisnis nikah siri. Dua hal itu dilakukan pemerintah dan ulama. Pemerintah wajib menghilangkan hambatan pernikahan yang dicatat dalam lembaran negara.

Ada beberapa hal yang menjadikan nikah tanpa pencatatan tersebut bisa dimaklumi. Misalnya hambatan geografis. Penduduk daerah terpencil cenderung memilih nikah siri daripada menikah di KUA di kecamatan.

Ada juga kendala birokratis, yakni biaya pernikahan. Jamak diketahui, biaya mengurus tetek bengek administrasi pernikahan sangat mahal. Bahkan, sebut Amin, di Jakarta biayanya minimal Rp 1 juta, padahal tarif normalnya berkisar Rp 300 ribu. "Tukang becak yang tidak punya uang tentu memilih nikah siri," cetusnya.

Persoalan lainnya adalah motif menikah. Motif inilah yang membuat para pebisnis nikah siri tumbuh subur. Amin mengatakan, dirinya berpikiran positif dengan menyebut motif itu sebagai motif ekonomi. Tidak sedikit orang tua miskin yang "menjual" putrinya ke laki-laki hidung belang dengan jalan nikah siri. Tentunya dengan bayaran tertentu kepada si gadis.

Kemudian, tugas ulama adalah mengedukasi masyarakat tentang bahaya nikah siri. Pernikahan siri itu sah menurut agama, namun dalam praktiknya menimbulkan banyak mudarat.

Dengan begitu, konsumen nikah siri akan menyusut dan dengan sendirinya membuat bisnis nikah siri tumbang. Selama ini bisnis tersebut tumbuh subur karena konsumennya juga banyak. "Jangankan mereka yang masyarakat biasa, ada juga guru besar sebuah universitas Islam yang kerjaan sampingannya juga seperti itu (menikahkan siri. Red)," ungkap Aminudin Yakub tanpa mau menyebut siapa guru besar yang dimaksud. (byu/gun/c9/kim)

 


SELALU ada dalil yang diajukan para pebisnis nikah siri. Mereka selalu meyakinkan pemakai jasanya bahwa pada dasarnya pernikahan secara siri adalah


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News