Pajak ‘Backpacker’ Dinilai Hambat Industri Pariwisata Australia

Para turis ‘backpacker’ (berbujet rendah) yang bekerja di Australia berujar, mereka tak mungkin pergi jauh atau tinggal selama mungkin di Australia setelah Pemerintahan Tony Abbott memangkas ambang bebas pajak dari penghasilan mereka hampir senilai 20 ribu dolar (Rp 200 juta).
Mulai Juli 2016, turis dengan visa liburan kerja akan harus membayar 32,5 sen (atau sekitar Rp 3250) pajak untuk setiap dolar yang mereka hasilkan, hingga nominal 80 ribu dolar (atau Rp 800 juta).
Saat ini, pemegang visa liburan kerja bisa diperlakukan sebagai penduduk untuk tujuan pajak jika mereka berada di negara itu selama lebih dari enam bulan.
Amy Cox dari Nottingham di Inggris, mengandalkan pendapatan bebas pajak untuk jalan-jalan keliling Australia.
Perubahan ini bisa memberi Pemerintah Australia pendapatan senilai 540 juta dolar (atau sekitar Rp 5,4 triliun) selama empat tahun ke depan.
Di Tasmania saja, sekitar 50.000 turis backpacker tercatat mengunjungi negara bagian ini setiap tahunnya.
Ketua Dewan Industri Pariwisata Tasmania, Lukas Martin, mengatakan, memaksakan pajak pada wisatawan pekerja akan membuat mereka kabur ke Selandia Baru.
"Saya pikir akan ada banyak orang di pasar pariwisata muda yang benar-benar menggaruk kepala mereka atas keputusan itu," sebutnya.
Para turis ‘backpacker’ (berbujet rendah) yang bekerja di Australia berujar, mereka tak mungkin pergi jauh atau tinggal selama mungkin
- Apa Arti Kemenangan Partai Buruh di Pemilu Australia Bagi Diaspora Indonesia?
- Dunia Hari Ini: Presiden Prabowo Ucapkan Selamat Atas Terpilihnya Lagi Anthony Albanese
- Mungkinkah Paus Baru Datang dari Negara Non-Katolik?
- Partai Buruh Menang Pemilu Australia, Anthony Albanese Tetap Jadi PM
- Dunia Hari Ini: Israel Berlakukan Keadaan Darurat Akibat Kebakaran Hutan
- Dunia Hari Ini: Amerika Serikat Sepakat untuk Membangun Kembali Ukraina