Pentingnya Narasi Tunggal Komunikasi Publik soal Agenda Renegosiasi PT. Freeport Indonesia

Pentingnya Narasi Tunggal Komunikasi Publik soal Agenda Renegosiasi PT. Freeport Indonesia
Pengamat Hubungan Internasional, Dr. Velix Wanggai.

Dalam konteks pengelolaan komunikasi publik soal re-negosiasi PTFI ini, tampaknya penting untuk memetakan secara jelas berbagai kepentingan yang terkait dengan masa depan tambang emas di Tanah Papua ini.

Tidak hanya dari kepentingan Pemerintah, namun juga dari kepentingan pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten-kabupaten sekitar wilayah eksploitasi, masyarakat adat pemilik hak ulayat, dunia usaha baik BUMN dan dunia swasta nasional dan daerah, maupun kepentingan para penanam modal di tubuh PTFI, dan bahkan Freeport Mcmorand yang bermarkas di Phoenix. Kepentingan PTFI telah jelas posisinya.

Ketika awal Februari 2017 lalu, President dan CEO McMorand Inc, Richard Anderson, menegaskan bahwa kontrak karya merupakan dasar dari kestabilan dan perlindungan jangka panjang bagi Freeport. Kepastian hukum dan fiskal sangat penting bagi Freeport untuk melakukan investasi modal skala besar berjangka panjang di Papua. Bahkan, jika perundingan dengan Indonesia menemui jalan buntu, maka Richard Anderson mengancam untuk memulai Arbitrase untuk menegakkan setiap ketentuan KK dan memperoleh ganti rugi yang sesuai.

Bagi rakyat Papua dan pemerintah daerah Papua, kehadiran PTFI adalah sebuah realitas yang signifikan di dalam pembangunan daerah, apalagi dalam konteks pembangunan kabupaten Mimika. Sejak pertengahan tahun 2013 Gubernur Papua Lukas Enembe telah menyodorkan 17 poin tuntutan Papua dalam konteks re-negosiasi. Intinya, apa hak-hak rakyat Papua yang wajib diperoleh dari poin demi poin di dalam proses re-negosiasi PTFI. Soal divestasi, Gubernur Enembe sepakat dengan konsep Pemerintah agar Indonesia menguasai 51 persen saham PTFI. Tentu juga, sejauhmana kepentingan masyarakat adat, hak atas lingkungan, dan pembangunan sosial yang masih dibutuhkan oleh masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan emas ini.

Belum lagi, bagaimana pemerintah mengelola komunikasi publik yang tepat, sebagaimana respons dari komunitas masyarakat sipil di tingkat nasional dan daerah. Simak saja, pernyataan Menteri ESDM Ignatius Jonan yang membandingkan kecilnya kontribusi sebesar Rp 8 Triliun ketimbang kontribusi cukai rokok sekitar Rp 135 Triliun namun tapi tidak rewel.

Kontan, pernyataan ini dikritisi oleh Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, pada 22 Februari 2017. Ia menilai pernyataan Menteri Jonan lebay bahkan menyesatkan. Bagi Tulus Abadi, cukai rokok Rp 135 Triliun bukan dibayar oleh industri rokok, namun dibayar oleh konsumen perokok. Bahkan, industri rokok melakukan perlawanan terhadap regulasi pemerintah.

Memang tidaklah mudah mengelola kepentingan yang beragam soal agenda re-negosiasi PTFI ini. Belum lagi dengan faktor geopolitik dan warisan sejarah hadirnya PTFI di Indonesia yang tida terlepas di masa transisi Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia.

Pemerintah telah tepat untuk berpegang teguh dengan politik regulasi Minerba tahun 2009 dan sejumlah aturan pendukung di tahun 2017 ini, dengan tetap menghormati hak-hak rakyat Papua, termasuk pemerintah daerah, di atas tanahnya sendiri di Tanah Papua. Pasti ada saja pro dan kontra, baik dari sisi filosofis nasionalisme ekonomi maupun dari sisi pragmatisme keberlanjutan ekonomi nasional dan daerah, khusus Tanah Papua.

Oleh Dr. Velix Wanggai

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News