Percayalah, Politik Identitas Hanya Menguntungkan Elite

Percayalah, Politik Identitas Hanya Menguntungkan Elite
Ilustrasi. Foto: Dreamstime.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Arif Susanto menilai, ada beberapa penyebab politik identitas berbasis kebencian berkembang hingga saat ini. Antara lain, adanya kesenjangan ekonomi di tengah masyarakat. Daerah yang memiliki tingkat kesenjangan ekonomi cukup tinggi, dinilai rawan penggunaan politik SARA.

"Contoh konkretnya itu di Jakarta, sebagai laboratorium penggunaan identitas (politik SARA,red). Efeknya, akumulasi kekuasaan pada elite, sementara pada masyarakarta terjadi pembelahan," ujar Arif di Jakarta, Selasa (26/12).

Menurut pengajar di Universitas Paramadina ini, hasil penelitian menunjukkan gini ratio di Jakarta naik dalam tiga tahun terakhir. Itu menjadi persemaian subur bagi politik kebencian berbasis identitas.

Penyebab lain, rendahnya literasi politik dan komunikasi. Banyak masyarakat yang tidak paham bahwa politik adalah moderasi konflik. Artinya, fungsi politik membuat konflik lebih lembut.

"Singkatnya, kecerdasan politik masyarakat masih lemah. Parahnya lagi, parpol justru alfa memperbaiki itu," ucapnya.

Kemudian terkait komunikasi, kata Arif, salah satu instrumen yang digunakan untuk menyebarkan politik kebencian selama ini adalah media sosial. Hal tersebut cukup berbahaya jika tidak dibarengi literasi komunikasi yang baik bagi masyarakat.

Akibatnya, orang gagal membandingkan antara opini dan fakta. Demikian juga antara pemberitaan dan penyebarluasan kabar bohong lewat konstruksi, seolah merupakan sebuah produk berita.

Sebenarnya, kata Arif kemudian, model politik kebencian sudah dimulai pada 2016 lalu. Namun efeknya tidak terlalu kuat. Baru terasa sangat kuat di 2017, pada Pilkada DKI Jakarta. Terjadi karena ada polarisasi politik yang amat tegas.

Pengamat politik Arif Susanto menilai, ada beberapa penyebab politik identitas berbasis kebencian berkembang hingga saat ini

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News