Provinsi Riau: Sejarah dan Potensi Bumi Lancang Kuning

Provinsi Riau: Sejarah dan Potensi Bumi Lancang Kuning
Gubernur Riau Anas Maamun menjadi inspektur upacara peringatan HUT Republik Indonesia di halaman kantor Gubernur Riau. Foto: ist

Kesebelas, mewujudkan kemandirian desa melalui kedaulatan pangan dengan meningkatkan ketersediaan pangan. Keduabelas, meningkatkan sarana dan prasarana destinasi wisata serta mengembangkan desa wisata. Ketigabelas, meningkatkan jumlah pelaku ekonomi kreatif dan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara. Terakhir, meningkatkan iklim investasi dan partisipasi angkatan kerja.

Dalam kurun waktu lima tahun dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 12,87 persen, diperkirakan total anggaran pembangunan yang diperlukan sebesar Rp55 triliun. Ini diharapkan dapat mencapai target indikator makro pembangunan Provinsi Riau, yakni: Pertama, meningkatkan IPM dari 77,46 pada 2013 menjadi 80,01 pada 2018. Kedua, menurunkan indeks gini dari 0,37 pada 2013 menjadi 0,29 pada 2018. Ketiga, menurunkan angka inflasi dari 9 persen menjadi 5,99 persen pada 2018.

Keempat, menurunkan persentase pengangguran sebesar 5,50 persen pada 2013 menjadi 3,94 persen pada 2018. Kelima, menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 8,42 persen pada 2013 menjadi 5,84 persen pada 2018. Keenam, meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa migas sebesar 6,13 persen pada 2013 menjadi 7,24 persen pada 2018. Terakhir, meningkatkan kualitas lingkungan dengan pencapaian indeks lingkungan hidup sebesar 56,23 pada 2013 menjadi 71,70 pada 2018.

Tentu saja sangat disadari oleh Gubri Annas Maamun, bahwa tidaklah mudah mewujudkan RPJMD tersebut. Selain berbagai masalah internal yang menghadang, masalah eksternal juga tidak sedikit. Misalnya saja masih banyak persoalan terkait Dana Bagi Hasil (DBH) yang berkeadilan dari Pemerintah Pusat. Padahal, DBH yang memadai tentu saja dapat memacu pembangunan Provinsi Riau.

Bila dibandingkan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua dengan UU Otsus-nya, tentu nasib yang diterima Provinsi Riau tidaklah sama. Jika dua Provinsi tersebut mendapat DBH minyak hingga 75 persen, Provinsi Riau hanya mendapat sekitar 15,5 persen saja. Padahal Provinsi Riau juga membutuhkan anggaran yang tidak sedikit untuk mengejar ketertinggalannya selama ini.

Selain tidak pernah dilibatkan dalam penetapan besaran DBH migas, Riau sebagai daerah penghasil juga tidak diberikan kewenangan untuk mengakses data perkembangan hasil eksplorasi maupun eksploitasi migas seperti data produksi, lifting, cost recovery dan pajak lainnya. Sehingga seorang Gubernur pun tidak tahu berapa sesungguhnya hasil produksi migas di daerahnya, termasuk perkembangan harganya.

Hal inilah yang dinilai banyak kalangan sebagai sikap tidak adil pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Apalagi dengan adanya dugaan, telah terjadi penyimpangan terhadap penghitungan besaran DBH. Hal ini antara lain terlihat dari perbedaan pencatatan lifting antara SKK Migas dengan KKKS. Pada 2010 misalnya, perbedaan itu mencapai Rp226 miliar. Sedangkan pada 2011 sebesar Rp248 miliar.

Diperparah lagi, daerah penghasil migas tidak menjadi prioritas dalam mendapatkan porsi APBN. Ini terbukti dari APBN untuk Riau yang dari tahun ke tahun belum menggembirakan. Padahal sebagai daerah penyumbang devisa bagi negara, daerah penghasil migas seyogyanya mendapat porsi APBN lebih besar untuk menumbuhkan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi baru.

BERMULA dari tahun 1514, sebuah ekspedisi militer Portugis menelusuri sungai-sungai di kawasan Indonesia barat. Tujuan pelayaran mereka untuk mencari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News