Rakor Pemenuhan Hak Anak Berkebutuhan Khusus

Rakor Pemenuhan Hak Anak Berkebutuhan Khusus
Rapat Koordinasi Dari Solo Untuk Indonesia Menuju Masyarakat Inklusi Melalui Pendidikan Inklusi Transisi di Solo, Jawa Tengah. Foto: Humas Kemenko PMK

jpnn.com, SOLO - Dalam upaya pemenuhan hak pendidikan, masih banyak ditemukan anak berkebutuhan khusus dan anak penyandang disabilitas yang ditolak di sekolah umum maupun sekolah inklusi. Berbagai pemasalahan-permasalahan yang melatarbelakangi antara lain, karena tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang belum ramah anak, guru pendamping yang kurang, pembiayaan yang mahal untuk penyediaan guru pendamping, anak penyandang disabilitas rentan mendapat bully dan lainnya.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) dan para penyandang disabilitas merupakan sosok pribadi yang spesial. Dibalik kelemahan fisik mereka memiliki kelebihan yang luar biasa namun sering menerima dampak dari kondisi sosial budaya dan kebijakan yang belum ramah ABK/Disabilitas. Berbagai persoalan yang muncul dipermukaan antara lain masalah diskriminasi kebijakan, diskriminasi perlakuan masyarakat, deharmonisasi keluarga, bullying, eksploitasi dan perlakuan salah lainnya.

Plt. Deputi Perlindungan Perempuan dan Anak Kemenko PMK Ghafur Dharmaputra, yang diwakilkan oleh sisten Deputi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Marwan Syaukani, menjadi salah satu narasumber dalam rakor pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus. Acara ini mengambil tema “Rapat Koordinasi Dari Solo Untuk Indonesia Menuju Masyarakat Inklusi Melalui Pendidikan Inklusi Transisi” dan dibuka oleh Wakil Walikota Surakarta, Achmad Purnomo, yang bertempat di ruang rapat Hotel Alila, Solo, Jawa Tengah.

Dalam paparannya, Marwan mengatakan bahwa perhatian kita masih rendah terhadap disabilitas. Anak disabilitas di Indonesia menurut data tahun 2016 sebesar 12,5 persen. Banyaknya anak-anak down syndrome yang tidak sekolah menjadi perhatian kita semua. 10,8 persen dari total tersebut masih bisa dididik tetapi 1,7 persen dari anak-anak ini tidak bisa dilatih atau dididik. Pemerintah saat ini concern terhadap masalah disabilitas ini. Salah satunya dengan melatih keluarga agar dapat turut melatih anak-anak yang terkena down syndrome.

Lebih lanjutnya, anak-anak disabilitas ini telah dilindungi oleh UU 23 tahun 2002 tentang perlindunan anak; UU 35 Tahun 2014, UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas; Prinsip SDG’s “No One will be left Behind” dan ini merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

“Inilah kenapa kita harus memperhatikan teman-teman disabilitas ini bahwa mereka juga mempunyai hak. Saat ini concern Pemeritah adalah bagaimana ketika keluarganya sudah tiada. Pemerintah Pusat dan Daerah serta masyarakat termasuk LSM harus bekerjasama supaya mendorong mereka mandiri,” Ujar Marwan.

Marwan juga menjelaskan bahwa masyarakat inklusi merupakan masyarakat yang tidak membeda-bedakan pembangunannya, masyarakat yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan keberbedaan serta menunjang mereka menjadi masyarakat yang mandiri.

Diakhir paparannya, Marwan mengatakan bahwa yang kita semua harapakan bukan program-program disabilitas itu hanya charity, kita harus mengubah mainset bahwa itu merupakan hak mereka mendapatkan pendidikan, kesehatan dan segala kebutuhan yang mereka butuhkan, itu semua yang penting dan tentu saja kita dapat menunjang mereka supaya mandiri.

Kepala Pusat Layanan Autis, Hasto Daryanto, juga menjelaskan bahwa PLA diremikan oleh Walikota Surakarta, F.X Hadi Rudyatmo pada tanggal 17 September 2014 dengan gedung dan alat terapis didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memberikan dukungan layanan dalam perspektif pendidikan untuk anak autis, hiperaktif dan ABK lainnya. Sasaran utamanya merupakan penyandang autisme yang merupakan warga kurang mampu dengan anak berusia 1,5 tahun hingga 18 tahun.

Hingga kini, asih banyak ditemukan anak berkebutuhan khusus dan anak penyandang disabilitas yang ditolak di sekolah umum maupun sekolah inklusi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News