Reformasi Pajak Jadi Solusi Gap Kelas Atas dan Bawah? Ini Kata Pakar Ekonomi

Oleh karena itu, dia menilai reformasi perpajakan mendesak dilakukan dengan perhitungan dan cara yang tepat tepat, agar tidak menghambat pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19.
Pemerintah juga perlu mengarahkan reformasi perpajakan kepada pencegahan penghindaran pajak antar negara dan penurunan emisi karbon secara signifikan.
Bhima menyebut penerapan pajak karbon yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) pasal 44G perlu diprioritaskan.
Dalam jangka pendek, menurut Bhima, pemerintah bisa berfokus mengenakan pajak karbon untuk hulu industri ekstraktif yang menghasilkan emisi karbon, seperti pertambangan.
“Sementara penerapan pajak karbon ke masyarakat sebaiknya dilakukan secara hati-hati dengan menimbang daya beli per kelompok masyarakat,” imbuhnya.
Lebih lanjut, pajak minimum alternatif (alternative minimum tax) untuk perusahaan asing juga perlu mulai diterapkan dengan tarif yang bisa di atas satu persen.
Di samping itu, basis barang yang dikenakan cukai juga perlu perlu diperluas sehingga tidak hanya rokok, alkohol, dan etil alkohol.
“Ke depannya barang kena cukai bisa didorong lebih banyak, misalnya minuman berpemanis yang punya efek ke kesehatan idealnya dikenakan cukai juga,” ucap Bhima. (mcr10/jpnn)
Direktur Celios Bhima Yudhistira menyebut reformasi pajak mendesak, salah satunya untuk mempersempit jurang antara pajak kelas atas dan bawah.
Redaktur & Reporter : Elvi Robia
- Musnahkan Barang Hasil Penindakan Periode 2024-2025, Bea Cukai Juanda Tegaskan Ini
- Produksi Rokok Turun 4,2 Persen, Ini Penyebabnya
- Penerimaan Kepabeanan & Cukai Capai Rp 77,5 Triliun
- Ketua Komisi II DPR Sebut Kemandirian Fiskal Banten Tertinggi di Indonesia pada 2024
- Pramono Anung Bakal Kejar Penunggak Pajak Kendaraan Bermotor di Jakarta
- AUKSI Lakukan Serah Terima Kantor Baru di Surabaya, Dorong Peningkatan PNBP