Rocky

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rocky
Rocky Gerung. Foto: Aristo/JPNN.com

Mirip dengan pembagian tempat duduk parlemen Prancis setelah revolusi 1789, yang pro dan kontra dipisahkan di kiri dan kanan. Pemisahan itu sekarang menjadi tradisi politik untuk menggambarkan garis ideologi, kiri berarti Marxis dan kanan berarti konservatif.

Rocky selalu berada pada sisi oposisi, menjadi pendebat ulung dengan penguasan retorika yang sangat baik. Rocky punya ilmu orasi, memahami teori, dan pandai memilih diksi. Narasinya runtut dan intonasinya menarik. Penguasaannya terhadap teori-teori filsafat sangat mumpuni. Di tangan Rrocky, teori-teori filsafat yang rumit dan berat menjadi sederhana dan ringan.

Setiap kali diserang oleh lawan debatnya, Rocky bukan saja bisa mengelak dengan cerdik, tetapi langsung melakukan counter attack yang mematikan. Salah satu diksi yang menjadi ciri khas Rocky adalah ‘’dungu’’.

Tidak semua orang bisa mengucapkan kata itu, tetapi Rocky bisa melakukannya setiap saat, kepada siapa saja, dan selalu membuat lawan debatnya tidak berkutik dengan sebutan itu.

Sebutan dungu bersifat pejoratif atau merendahkan. Namun, Rocky tidak bermaksud merendahkan lawan debatnya. Dia hanya mencari diksi yang tepat dan sederhana untuk menggambarkan salah fikir yang dilakukan lawan debatnya.

Rocky menggambarkan ‘’logical fallacy’’ kesalahan logika lawan debatnya dengan sebutan ‘’dungu’’.

Rocky tidak pernah kehabisan kreativitas menghadapi para penyerangnya. Para buzzer yang terus-menerus menerornya dibuat mati kutu.

Rocky menyebut buzzer dan cebong penjilat kekuasaan sebagai ‘’buzzer sachetan’’ dan ‘’buzzer eceran’’, untuk menggambarkan bahwa mereka adalah buzzer bayaran dengan harga receh.

Tidak semua orang bisa mengucapkan kata itu, tetapi Rocky Gerung bisa melakukannya setiap saat, kepada siapa saja.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News