Sepenggal Cerita Perjalanan Hari Film Nasional

Sepenggal Cerita Perjalanan Hari Film Nasional
Bapak Perfilman tanah air, Usmar Ismail (kanan). (dok.pnri.go.id)

Golongan "kiri" sempat secara terang-terangan menolak tanggal 30 Maret sebagai hari perfilman Indonesia.

Pada 30 April 1964, mereka mendirikan PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Amerika Serikat) dan menuntut agar tanggal tersebut lah yang dijadikan Hari Perfilman Nasional.

Mereka juga menganggap film Darah dan Doa tidak layak dijadikan pelopor film nasional karena karya Usmar Ismail dianggap kontra-revolusioner.

Protes ini berlanjut hingga tahun 1966 ketika peristiwa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) menghentikan suara dan segala aktivitas golongan ini.

Seiring berjalannya waktu, film Indonesia pun mulai meniti kesuksesan pada tahun 1980an saat industri film nasional pada masa itu melahirkan bintang-bintang berbakat seperti Lidya Kandouw, Meriam Bellina, Ongky Alexander dan lainnya.

Hanya saja kesuksesan itu menurun drastis pada dekade berikutnya. Perfilman Indonesia ibarat mati suri seiring pesatnya pertumbuhan tontonan televisi dan masuknya film Hollywood.

Namun, pada tahun 2000-an, film Indonesia kembali bangkit melalui film-film AADC (Ada Apa Dengan Cinta), Petualangan Sherina, dan beberapa lainnya.

Kini, film Indonesia semakin berkembang dengan ragam cerita yang kreatif dan inovatif. Tak monoton, Indonesia boleh berbangga ketika film-film seperti The Raid atau Laskar Pelangi menjadi raja di tanah sendiri, bahkan hingga penonton dari luar negeri.

Setiap tanggal 30 Maret, Indonesia memeringati Hari Film Nasional (HFN). Peringatakn tersebut menjadi cerminan perkembangan film di Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News