The Last Reporter

The Last Reporter
Ajay Muhadjar. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

Hujan Sepertiga Malam

Silang Monas, Jakarta Pusat, penghujung Januari 2017. Malam itu hujan sedang deras-derasnya. Di pintu masuk Gedung RRI yang hanya berjarak sepelemparan batu dari Istana Negara, terlihat tulisan, "sekali di udara, tetap di udara".

Saya baru saja rekaman untuk Warta Musik Indonesia, program barunya RRI. Bercerita sejarah Muchtar Embut dan Gombloh gara-gara si empunya program membaca ulasan sejarah kedua musisi legendaris tersebut di rubrik Historiana, JPNN.com.

Hingga sepertiga malam hujan belum jua reda. Saya-pun lebur bergerombol dengan sejumlah awak RRI di sudut paling "hangat" di gedung itu. Kami saling bertukar cerita. Penuh canda tawa. 

Dan…ondeh mande, dalam gerombolan itu rupanya ada Ajay Muhadjar, satu di antara legenda reportase olahraga RRI. Betul juga kata orang tua, "hujan selalu membawa berkah, nak."

Peristiwa ini tak mungkin dilewatkan begitu saja. Mengingat sekarang dia menjabat Kepala Biro RRI Banten, kenapa pula harus atur waktu, langsung saja wawancara. Belum tentu pula tiap hari dia ke Jakarta.

"Saya bukan apa-apa," katanya merendah. "Reporter olahraga legendaris RRI itu Ajat Sudrajat, Ripto Sahfidi, Sambas, Sasli Rais dan lain sebagainya. Saya bukan siapa-siapa dibanding mereka," sambung pria yang bekerja di radio itu sejak 1986.

Malam kian larut, obrolan tak kunjung surut. 

ADA sebuah masa ketika orang-orang terpaku di depan radio. Menyimak pertandingan olahraga yang dilaporkan secara langsung oleh Radio Republik Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News