Upah Buruh per Jam Bukan untuk Pekerja Penuh Waktu?

Upah Buruh per Jam Bukan untuk Pekerja Penuh Waktu?
Buruh menggelar aksi demo. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Muncul wacana upah buruh menjadi per jam, yang akan dituangkan dalam rancangan Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja.

Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nawawi mengatakan perlu ada perhitungan komprehensif terkait wacana perubahan sistem upah kerja menjadi per jam agar tidak merugikan pekerja.

"Kalau nanti dibuat per jam untuk mereka yang kerja di bawah 35 jam kerja per pekan artinya harus ada hitungan jangan sampai merugikan pekerja," kata Nawawi saat dihubungi ANTARA, di Jakarta, Sabtu (28/12).

Nawawi menduga skema upah kerja per jam hanya akan menyasar pekerja "setengah menganggur" bukan pekerja penuh waktu.

"Detilnya belum kelihatan tetapi prinsipnya dari Menteri Ketenagakerjaan yang baru bilang bahwa upah kerja per jam menyasar mereka yang bekerja di bawah 35 jam per pekan. Jadi artinya memang orang-orang yang statusnya masih 'setengah menganggur'. Jadi memang ini khusus bagi mereka yang bukan full time workers," ujarnya.

Jika skema upah kerja per jam diberlakukan bagi pekerja penuh yang bekerja 40 jam per pekan atau pekerja penuh waktu, kata dia, maka akan merugikan mereka, karena upah yang diterima sangat rigid (kaku) sekali berdasarkan jumlah jam kerja.

Menurut Nawawi, skema upah kerja per jam akan menguntungkan pengusaha karena ada kepastian besaran bayaran untuk pekerja "paruh waktu" tersebut.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia tengah mengkaji sistem pengupahan yang berbasis produktivitas, salah satunya mengubah sistem upah menjadi per jam.

Muncul wacana dalam rancangan Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja mengatur upah buruh menjadi per jam.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News