Wisma Tuna Ganda, Tempat Memuliakan 'Orang-Orang Tak Diinginkan'

Tak Berhitung soal Gaji, Layani Penyandang Cacat Seperti Anak Sendiri

Wisma Tuna Ganda, Tempat Memuliakan 'Orang-Orang Tak Diinginkan'
Roisyah (berdiri), salah satu pengasuh di Wisma Tuna Ganda (WTG) Palsigunung, Cimanggis, Jakarta Timur, bersama Markus Manulang yang menjadi salah satu penghuni panti asuhan tersebut. Foto: Ayatollah Antoni/JPNN.Com

Hanya bersekat tembok, ada Teguh Idadi yang tengah tengkurap sembari terus mencoba memasukkan kedua kepalan tangannya yang terbungkus kain ke dalam mulut.

Teguh adalah warga asuh tertua di WTG. Lelaki kelahiran Cirebon, 7 Juni 1968, itu sudah menghuni WTG sejak 28 April 1975.

Sesekali Teguh meraung. Dia merupakan penderita keterbelakangan mental, tunawicara, tunarungu, tunanetra, cerebral palsy (kelainan akibat kerusakan otak) dan lumpuh.

Ada pula kakak beradik asal Medan, Markus dan Freddy Manulang. Keduanya penderita microcephalus. Ukuran kepalanya memang jauh lebih kecil dari rata-rata normal.

Namun, Manulang bersaudara menjadi penghuni WTG bukan semata-mata karena menderita microcephalus atau mikrosefalia. Keduanya juga penyadang tunarungu sekaligus tunawicara, sehingga sejak 1 Juni 1981 menjadi warga asuh di panti asuhan di bawah Panti Yatim Piatu Muslim itu.

Masih ada puluhan penyandang cacat lainnya di WTG. Perinciannya ialah 19 laki-laki dan 12 persempuan.

Meski sebenarnya WTG berada di bawah naungan yayasan muslim, penghuninya tak harus beragama Islam. 

"Syarat agar bisa ditampung di sini ialah penderita cacat ganda dan umurnya kurang dari sepuluh tahun," kata Suciati, petugas administrasi WTG.

Tak seorang pun ingin terlahir dan hidup sebagai penyandang cacat, apalagi lebih dari satu jenis cacat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News