Di Indonesia Baru Terdeteksi Seorang, Itu pun Tinggal di Eropa

Di Indonesia Baru Terdeteksi Seorang, Itu pun Tinggal di Eropa
Bayi Mariyam yang masih berumur 2 minggu dalam perawatan karena memiliki jenis golongan darah langka di Rumah Sakit Hermina Jatinegara, Jakarta Timur, kemarin. Foto: Zalzilatul Hikmia/JAWA POS

TIDAK banyak orang yang tahu istilah golongan darah Para Bombay. Apalagi bagi keluarga orang awam seperti Rini Yuniastuti, 32. Namun, takdir memilih Rini dan anaknya sebagai pemilik kedua dan ketiga golongan darah itu di Indonesia.
-----------
Zalzilatul Hikmia, Jakarta
-----------
"Minum yang banyak ya Dik, biar kamu cepet naik berat badannya, sehat, terus kita bisa cepet pulang," ujar Rini saat menyuapkan ASI kepada bayi perempuannya.
 
Dengan penuh kasih sayang, dia menyuapkan perasan ASI itu sedikit demi sedikit ke mulut bayi kecilnya tersebut. Pandangannya tidak sedikit pun teralih. Dia begitu asyik menyuapi putri kecilnya yang baru berumur dua minggu itu.
 
Maryam namanya. Bayi perempuan yang lahir pada 15 Desember 2013 dengan penuh perjuangan. Baik sebelum dilahirkan hingga dia berhasil melihat dunia.
 
Saat masih dalam kandungan, Maryam positif suspect anemia hidrofetuli sehingga harus dilahirkan sebelum waktunya. Saat itu Maryam masih berumur 32 minggu dalam kandungan. Karena takut mengalami hal yang sama dengan kakak-kakaknya, akhirnya Rini disarankan untuk segera menjalani operasi Caesar.
 
Sebab, kakak kedua Maryam meninggal karena penyakit darah tersebut. Setelah dilahirkan, sang kakak ternyata mengalami anemia dengan kandungan hemoglobin yang sangat rendah, yaitu 3,5. Hal serupa dialami anak keempat Rini yang didiagnosis menderita anemia hidradenitis sehingga terpaksa digugurkan saat masih di dalam kandungan.
 
"Anak kedua dan keempat saya meninggal karena anemia. Anak ketiga saya juga meninggal. Dokter memperkirakan karena saya kelelahan," ujar Rini. Namun setelah pemeriksaan anak kelimanya itu, dia curiga anak ketiganya juga meninggal karena penyakit darah tersebut.
 
Sebelumnya, Rini divonis mengalami hiperagregasi trombosit. Trombositnya cenderung mudah melakukan agregasi sehingga darahnya menjadi kental. Mengetahui hal itu, akhirnya Rini mengonsumsi pengencer darah agar asupan makanan kepada sang anak lancar. "Saya pikir masalah selesai di situ. Tapi, ternyata ada masalah lain," ungkapnya.
 
Permasalahan sesungguhnya justru muncul saat Rini akan dioperasi dalam proses persalinan Maryam. Karena takut terjadi pendarahan, pihak rumah sakit mengantisipasi dengan menyiapkan cadangan darah. Darah Rini pun diambil untuk dites di Palang Merah Indonesia (PMI), kemudian dicarikan darah yang cocok dengan miliknya.
 
Dari situlah diketahui bahwa Rini memiliki golongan darah langka. Yakni, A dengan rhesus positif. Sudah puluhan kantong darah dicocokkan dengan milik Rini, namun tidak ada satu pun yang cocok. PMI pun curiga. PMI pusat langsung melakukan berbagai tes pada darah Rini.
 
Mengetahui hal itu, dokter akhirnya meminta Rini langsung menjalani tes direct comb. Tujuannya, mengetahui apakah antibodi sang ibu masuk ke dalam tubuh si anak. Hasilnya positif. "Saat itulah diketahui saya memiliki darah A+ Para-Bombay dengan antibodi yang sudah terbentuk. Itulah yang mengakibatkan anak saya terkena anemia," tuturnya.
 
Mengetahui hal itu, kontan suami Rini, Taufiq Wirahman, 42, shock. Selain minimnya informasi mengenai golongan darah tersebut, dokter menginformasikan bahwa golongan darah tersebut langka. Tapi, hal itu tidak terlalu menjadi masalah. Ternyata, proses operasi Rini lancar dan pendarahan berhasil dicegah. Kelegaan seketika menghampiri pasangan tersebut.
 
Namun, kelegaan itu terasa hanya seperti fatamorgana. Masalah justru muncul pada si bayi. Maryam yang lahir dengan berat 2.070 gram dan panjang 42 cm itu memiliki HB rendah serta bilirubin yang sangat tinggi. Kondisi tersebut membuat tubuh Maryam kecil menguning.
 
"Sebenarnya banyak yang bilirubinnya tinggi. Hanya, kan reaksinya beda-beda tiap anak. Untuk anak saya, dokter memberikan alternatif untuk tukar darah. Sebab, diperkirakan darah dalam tubuhnya sudah rusak," jelasnya.
 
Darah bayi perempuan itu langsung dites. Lagi-lagi keberuntungan tidak berpihak pada Rini dan keluarganya. Persediaan darah di PMI yang sesuai dengan golongan darah Maryam ternyata sedang kosong.
 
Rini dan suami langsung mengontak semua kenalannya untuk meminta bantuan. Banyak donor yang datang untuk mendonorkan darah mereka. Sayangnya, tidak ada satu pun yang darahnya sesuai. Maryam memiliki golongan darah A+, sama dengan sang ibu.
 
Hal itu kontan memunculkan dugaan bahwa Maryam juga memiliki golongan darah Para-Bombay. Akhirnya, Maryam diperiksa lebih detail. Hasilnya tidak jauh berbeda dengan sang ibu.
 
Mendengar hal itu, Rini langsung bersedih. Dia dan suami yang sejak awal tahu golongan darah itu langka hanya bisa pasrah. Namun, bantuan dari berbagai pihak membuat pasangan itu bangkit. Rini dan Taufiq langsung membuat poster dan pengumuman melalui media sosial untuk mencari orang dengan golongan darah yang sama.
 
"Kami panik. Sebab, berdasar data PMI, hanya ada satu orang Indonesia yang memiliki golongan darah tersebut. Saat itu dia sedang berada di Eropa. Kami tidak bisa menghubungi yang bersangkutan. Rasanya nggak keru-keruan," ungkap perempuan itu dengan aksen Jawa.
 
Akhirnya, dia memperoleh informasi bahwa ada salah seorang warga Singapura yang memiliki golongan darah yang sama dengan dirinya dan putri kecilnya itu. Namun, lagi-lagi dewi fortuna enggan mampir. Pemerintah Singapura tidak memberikan izin. Sebab, golongan darah itu langka. Mereka berdalih akan digunakan untuk dalam negeri sendiri.
 
PMI juga sempat memberikan harapan. Mereka menuturkan, menurut literatur, sangat mungkin si anak bisa ditransfusi dengan golongan darah O Bombay. Tapi, saat dicoba, hasilnya gagal. Darah kembali tidak cocok.

"Padahal, secara teori, kemungkinannya sangat besar. Tapi, ternyata tidak. Kami tidak menyerah. Kami kemudian berusaha menghubungi bank darah di Belanda," jelas Rini sambil memandangi Maryam yang ditidurkan di sebelahnya.
 
Sambil sesekali menggoda dan membelai sang anak, Rini meneruskan ceritanya. Hingga beberapa hari, usaha dirinya dan teman-teman belum membuahkan hasil yang menenteramkan hati. Padahal, kondisi Maryam semakin menurun. HB-nya semakin menurun, bilirubinnya semakin naik, dan berat badannya menurun drastis.
 
Keadaan itu kontan memaksa semua kepala kembali berpikir untuk mencari jalan keluar. Hingga akhirnya, PMI menyarankan untuk mencoba dari keluarga terdekat. Rini mengaku sangat ingin mendonorkan darahnya. Tapi, dokter melarang. Sebab, setelah menjalani operasi Caesar, darah Rini masih rendah.
 
"Kan tidak lucu kalau akhirnya butuh darah lebih banyak dari kebutuhan Maryam. Sebab, saya yang harus ditranfusi," katanya lantas tersenyum. Akhirnya, lanjut dia, dirinya menghubungi adiknya di desa.
 
Sesampai di Jakarta, adik laki-lakinya itu langsung dihadapkan dengan rentetan tes. Belajar dari pengalaman sebelumnya, darah sang adik hanya diambil sedikit demi sedikit secara bertahap. Darah itu kemudian dicocokkan dengan darah Maryam. Ternyata, hasilnya sangat melegakan.
 
Darah sang adik ternyata cocok dengan darah anak perempuan Rini. Kejadian itu sangat mencengangkan. Sebab, golongan darah sang adik bukan A+ Para-Bombay, tapi bisa cocok dengan darah Maryam. "PMI juga sangat kaget. Padahal A+, bukan Para-Bombay. Hingga kini belum ada penjelasan detail. Hanya dugaan kedekatan kekerabatan sehingga darahnya cocok," katanya.
 
Transfer exchange langsung dilakukan dokter. Dengan sangat hati-hati tukar darah itu dilaksanakan pada hari kelima setelah kelahiran Maryam. Menurut Rini, proses tukar darah itu dilakukan secara bertahap. Dokter masih mengantisipasi adanya penolakan yang mungkin muncul saat darah sang paman masuk ke dalam tubuh Maryam. "Alhamdulillah, bilirubinnya turun dan tidak ada penolakan," ungkapnya bahagia.
 
Kendati mulai membaik, Maryam masih harus berada di dalam inkubator. Bayi kecil itu harus dirawat khusus karena lambungnya sempat mengalami pendarahan. Hingga kemarin, Maryam masih dipasangi detektor jantung dan pernapasan.

"Baik-baik ya Dik, cepet gede. Cepet naik berat badannya biar kita bisa cepet pulang. Nanti kita aqiqohan di rumah," ujar Rini sambil membelai sang anak.
 
Dia tidak mau menganggap semua kejadian itu sebagai musibah. Menurut dia, kejadian tersebut adalah anugerah dan pasti ada hikmahnya.
 
Saat dikonfirmasi soal kasus darah langkah itu, PMI membenarkan bahwa Para-Bombay merupakan golongan darah langka. Menurut Wakil Direktur Pelayanan Transfusi Darah PMI Pusat Ria Syafitri, perbandingan pemilik golongan darah itu adalah 4:1 juta orang di dunia sehingga cukup sulit ditemukan.
 
Dia mengungkapkan, golongan darah tersebut sebenarnya paling banyak ditemukan di India. Nama Bombay diambil dari peristiwa pertama ditemukannya golongan darah ini. Selain di India, golongan darah tersebut cukup banyak ditemukan di daratan Eropa.
 
Untuk Indonesia, hingga saat ini tercatat hanya tiga orang yang memiliki golongan darah tersebut. Seorang tengah berada di Eropa serta dua lainnya adalah Rini dan putri mungilnya. Tapi, Ria yakin golongan darah itu sebenarnya cukup banyak di Indonesia. Hanya, hingga kini belum terdeteksi. Bisa jadi mereka belum pernah menjalani tes dan belum memerlukan transfusi darah.
 
Ria menyatakan pernah beberapa kali bertemu warga yang memiliki golongan darah tersebut. "Golongan darah ini berbeda dengan golongan darah umumnya. Jika biasanya antigen yang ditemukan dalam golongan darah normal adalah H besar, pada golongan darah Para-Bombay, antigennya berupa h kecil sehingga tidak bisa dikasih yang biasa," jelasnya.
 
Mengenai kecocokan antara darah Maryam dan sang paman, Ria menjelaskan bahwa hal itu sangat mungkin terjadi karena si bayi belum membentuk antibodi sendiri. Selain itu, kedekatan kekerabatan memungkinkan kecocokan darah antara sang paman dan Maryam. "Antibodi masih dari ibu. Karena itu, saat tukar darah, tidak ada penolakan dari tubuh si bayi," tuturnya.
 
Sayangnya, menghadapi situasi seperti itu, PMI belum ingin membuat bank darah yang bisa menyimpan darah-darah langka dalam waktu lama. Menurut Ria, hingga kini darah langka hanya disimpan langsung di tubuh pemiliknya. Jika ditemukan kasus serupa, yang bersangkutan akan dikontak untuk dimintai tolong menyumbangkan darahnya.
 
Hingga saat ini, upaya seperti itu dirasa paling efisien jika dibanding membuat bank darah. "Sebab, kalau kita membuat tempat penyimpanan seperti itu, kan butuh banyak biaya. Padahal, permintaannya kan hanya sedikit. Jadi, kami mempertimbangkan hal itu. Golongan darah AB-, misalnya," ujarnya. (*/c5/kim)


TIDAK banyak orang yang tahu istilah golongan darah Para Bombay. Apalagi bagi keluarga orang awam seperti Rini Yuniastuti, 32. Namun, takdir memilih


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News