Dorong Distribusi Tertutup LPG 3 Kg

Untuk Batasi Migrasi karena Kenaikan Harga Gas

Dorong Distribusi Tertutup LPG 3 Kg
Elpiji 12 Kg. Foto: dok.JPNN

JAKARTA - Kenaikan harga liquid petroleum gas (LPG) tabung 12 kilogram pada awal bulan masih menyisakan masalah. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima keluhan dari konsumen soal langkanya LPG 3 kg. Itu karena banyak pengguna yang beralih ke LPG bersubsidi.
      
Ketua YLKI Sudaryatmo mengatakan, keputusan PT Pertamina untuk menaikkan harga LPG 12 kg, sebenarnya sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) BUMN. Perusahaan pimpinan Dwi Soetjipto memutuskan kebijakan tersebut untuk mencegah kerugian. "Kalau Pertamina menjual rugi, itu malah melanggar UU," ujarnya.
      
Namun, efek yang muncul ternyata luar biasa. Banyak laporan bahwa LPG melon (sebutan untuk tabung 3 kg, red) menjadi langka. Dalam aduan yang diterima, kenaikan harga membuat permintaan LPG 12 kg menurun drastis. Apalagi, muncul disparitas harga yang cukup besar dengan tabung 3 kg.
      
Daryatmo memaparkan, agar migrasi konsumen dari LPG 3 kg ke 12 kg tidak terus menerus terjadi, pemerintah harus mengambil langkah tegas. Menurutnya, ada dua solusi yang bisa menjadi pertimbangan pemerintah untuk menyiasati penjualan LPG 12 kg.
      
Pertama, LPG 12 kg dimasukkan dalam program subsidi, sehingga selisih harganya ditanggung pemerintah. Namun, itu tidak mudah karena peraturan menyebut program subsidi hanya untuk tabung 3 kg. Kedua, pemerintah kembali pada konsep awal dimana LPG 3 kg hanya diperuntukkan terbatas bagi pasar tertutup.
      
Dia melanjutkan, awalnya pasar tertutup tersebut diberlakukan bagi LPG 3 kg yang merupakan program konversi. Tapi, pada kenyataannya, lama-kelamaan LPG 3 kg menjadi produk bebas di mana siapapun bisa membeli. Supaya bisa distribusi tertutup, pemerintah bisa mengintegrasikan dengan program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
      
"Jadi nanti hanya pemilik KKS yang bisa menerima subsidi LPG 3 kg. Di luar itu nggak boleh. Kalau itu bisa dilakukan, migrasi ini tidak akan terjadi," imbuhnya.
      
Saran serupa juga muncul dari Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W. Yudha. Menurutnya, tidak baik dalam satu komoditas ada dua harga yang berbeda. Harusnya, ada satu kebijakan supaya tidak ada perdagangan yang "ilegal". Kalau seperti ini, pasti orang memilih yang lebih murah.
      
Apalagi, tidak ada larangan bagi warga untuk membeli LPG 3 kg, meski statusnya mampu. Di Permen ESDM 26/2009 juga hanya menyebut rumah tangga dan usaha mikro boleh menggunakan LPG bersubsidi. "Sekarang, orang pakai mobil, ambil 4 tabung nggak ada yang ngelarang," katanya.
      
Kalau tidak ada aturan yang tegas, negara jelas rugi. Beban subsidi membengkak kalau pengguna LPG 3 kg terus meningkat. Oleh sebab itu, saat DPR memanggil Menteri ESDM Sudirman Said nanti, akan didorong untuk ada kebijakan yang sama. Opsi menaikkan LPG hijau mungkin, tapi itu bukan yang utama.
      
"Bisa juga distribusi tertutup. Memang lebih sulit, tapi lebih terkontrol. Kami punya data siapa warga yang membutuhkan subsidi," jelasnya. Jadi, KKS menjadi landasan untuk mendistribusikan LPG 3 kg. Kalau pemerintah serius, kartu itu menjadi salah satu syarat untuk bisa mendapatkan tabung gas.
      
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, sepakat harus ada kebijakan yang sama untuk LPG 3 kg.  Dia menyebut beban subsidi LPG yang umumnya dijual Rp 18 ribu itu mencapai Rp 30-an triliun. "Bisa lebih besar kalau kebijakan tertutup tidak segera dijalankan," tegasnya.
      
Meski demikian, perbedaan harga yang muncul antara satu kelompok dengan Pertamina harus disikapi dengan bijak. Menurutnya, tidak baik kalau memaksa Pertamina menjual dengan harga tertentu. Alasannya, di ekonomi memungkinkan adanya ruang bagi Pertamina untuk mendapat untung.
      
"Yang penting wajar (keuntungannya). Yang nggak boleh, kalau pemerintah tidak tahu berapa tingkatan wajar itu. Tidak perlu menekan habis sampai Pertamina tidak untung," katanya.
      
Terpisah, Saleh Abdurrahman, Kepala Pusat Komunikasi Kementerian ESDM mengakui bahwa sistem distribusi yang berlaku saat ini masih terbuka. Jadi, semua orang boleh beli. Namun, dia berharap suatu waktu pola distribusi itu menjadi tertutup.
      
Untuk saat ini, bukan langkah yang bijak untuk mengubah Permen Kementerian ESDM 26/2009. Sebab, kebijakan menaikkan LPG 12 kg baru berjalan beberapa hari. Belum bisa disimpulkan ada migrasi besar-besaran dari LPG 12 kg ke 3 kg. "Itu bisa disadari (kalau ada yang pindah). Tapi, kalau Pertamina terus rugi, bagaimana bisa produksi," jelasnya.
      
Saat ini, yang bisa diharapkan adalah pengawasan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda). Seperti diketahui, Pemda punya kewenangan untuk mengatur harga eceran tertinggi (HET) tabung 3 kg. Pemda, lanjutnya, bisa menjadi ujung tombak karena tahu betul kondisi warganya.
      
"Misalkan, di tempat tertentu ada kenaikan pembelian LPG 3 kg dalam jumlah besar. Bisa langsung diusut dan ditelusuri," tegasnya. Sikap responsif penting untuk menjaga pasokan supaya tidak jebol. Kalau itu terjadi, ujung-ujungnya Pertamina akan minta tambahan subsidi ke pemerintah.
      
Dia menambahkan, senang dengan harga minyak dan gas yang turun. Pertamina juga sudah menjelaskan kalau sekarang sudah masuk harga keekonomian. Bila nilai tukar mata uang bisa dipertahankan, berarti tidak aka nada kenaikan lagi. "Malah, kami berharap bisa turun. Pertamina juga sebelum menaikkan sudah menganalisis daya beli masyarakat," jelasnya.

Pilih Migrasi ke 3 Kilogram Atau Naik Harga 5 Persen

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menuturkan,"kenaikan gas LPG"12 kg yang dilakukan PT Pertamina semakin memperberat beban industri makanan dan minuman skala kecil. "Yang banyak pakai gas 12 kg itu seperti industri kecil, restoran dan perusahaan katering. Memang bukan industri besar, tapi jumlahnya ribuan," ujarnya.
      
Tabung gas 12 kg selama ini masih dipakai karena masalah kepraktisan saja, pengusaha skala kecil tidak ingin bergonta-ganti tabung gas karena itu memerlukan waktu dan cukup merepotkan.

"Kalau sehari butuh satu tabung 12 kg, maka dia harus ganti dengan empat tabung gas melon (3 kilogram-red). Kalau tidak, ya harus keluar rumah empat kali sehari untuk beli gas. Nah, kalau gas 3 kilogramnya langka bagaimana?" ungkapnya.
      
Adhi mengakui, sebagian pelaku usaha kecil yang bergerak di bidang industri kecil, restoran dan katering telah beralih ke tabung gas 3 kg. Hal itu terjadi sejak tahun lalu saat Pertamina menaikkan harga gas 12 kilogram hingga 20 persen dari biasanya.
      
"September tahun lalu harga gas sudah naik, sekarang naik lagi maka beban industri mamin semakin berat. Kita khawatir ini akan menurunkan daya saing saat MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)," sebutnya.
      
Menurut Adhi, harga gas LPG cukup sensitif bagi pelaku industri kecil, restoran dan katering. Pasalnya komposisi biaya energi lebih besar dibanding industri besar yang kebanyakan sudah melakukan migrasi ke energi batubara atau listrik.
      
"Kalau industri besar itu persentase untuk biaya energi sekitar 8-12 persen, kalau industri kecil itu masih cukup besar di atas 15 persen. Jadi kalau gas naik 20 persen, beban biaya produksi bisa nambah 3-5 persen," ungkapnya.
      
Migrasi sebagian pelaku industri kecil, restoran dan katering ke tabung gas 3 kilogram, menurut Adhi, wajar-wajar saja untuk mempertahankan hidup bisnis di tengah beban yang semakin berat. Apalagi tidak ada aturan khusus yang melarang migrasi tersebut.
      
"Peralihan itu masih normal. Saya kira siapa saja orangnya kalau ingin usahanya tetap jalan pasti memilih cara terbaik. Kalau tidak pindah 3 kilogram, mungkin harga jualnya bisa dinaikkan lima persen," "tuturnya.
      
Dia menambahkan, kejadian seperti ini sudah berulang kali dialami oleh pelaku usaha makanan minuman skala kecil, restoran, dan katering. Namun mereka tetap bisa bertahan.

"Biasanya ada masa kontraksi sekitar tiga bulan untuk penyesuaian. Setelah itu, pelaku IKM biasanya sudah bisa beradaptasi dengan kenaikan harga gas dengan berbagai cara yang dipilih," jelasnya.  (dim/wir/ken/end)


JAKARTA - Kenaikan harga liquid petroleum gas (LPG) tabung 12 kilogram pada awal bulan masih menyisakan masalah. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News