Please, Jangan Lindungi Pengemplang Pajak

Please, Jangan Lindungi Pengemplang Pajak
Foto/ilustrasi: Ayatollah Antoni/JPNN.Com

jpnn.com - JAKARTA - Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Awan Santosa mengingatkan pemerintah dan DPR agar tidak memaksakan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (RUU Tax Amnesty). Menurutnya, pemerintah harus berhitung soal pengampunan pajak demi kepentingan nasional jangka panjang.

Awan mengatakan, selama ini pendukung tax amnesty selalu menyodorkan klaim tentang masuknya uang Rp 165 triliun ke dalam sistem keuangan negara. Namun, peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM itu menilai angka tersebut tak sebanding dengan besarnya puluhan tahun hasil kegiatan ekonomi di Indonesia yang dibawa kabur ke luar negeri.

Menurut Awan, berbagai informasi menyebut dana hasil kegiatan ekonomi di dalam negeri yang diparkir di mancanegara dalam kisaran Rp 4.500 triliun hingga Rp 11.400 triliun. “Potensi penerimaan tax amnesty sebesar Rp 165 triliun tentu saja tidak sebanding dengan besarnya potensi dari puluhan tahun kegiatan ekonomi yang hasilnya dibawa ke luar,” ujarnya melalui siaran pers ke media, Senin (27/6).

Awan menambahkan, selama ini pajak sebagai instrumen redistribusi kesejahteraan ternyata belum berjalan efektif. Pasalnya, model ekonomi yang diterapkan tidak sejalan dengan amanat konstitusi demikian.

Karenanya direktur Mubyarto Institute itu menegaskan, rencana pemerintah dan DPR menuntaskan RUU Tax Amnesty justru bertentangan dengan konstitusi. Sebab, bisa saja ada pihak yang membawa kabur aset nasional ke luar negeri, lantas berlindung di bawah pengampunan pajak.

Awan menegaskan, andai uang yang diparkir di luar negeri memang hasil kejahatan dan penggelapan di dalam negeri, pemerintah Indonesia mestinya menelusuri dan mengembalikannya. “Bukan dengan memberikan pengampunan,” tegasnya.

Selain itu Awan juga mengatakan, yang diperlukan saat ini justru reformasi perpajakan dengan basis negara sebagai pemegang kontrol atas sektor strategis ekonomi nasional. Dengan demikian, katanya, kekayaan di dalam negeri tidak tersedot ke mancanegara atau pun masuk ke kantong-kantong orang per orang.

“Kita membutuhkan demokratisasi perusahaan agar masyarakat dan pekerja dapat menuntut keterbukaan laporan keuangan dan distribusi keadilan dari institusi keuangan dan juga perusahaan,” cetusnya.(ara/jpnn)

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News