ABI: Tarif Pajak Aset Kripto Perlu Perhatikan Kemampuan Pengusaha

ABI: Tarif Pajak Aset Kripto Perlu Perhatikan Kemampuan Pengusaha
Asosiasi Blockchain menyebut dasar hukum tarif PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto masih perlu diperkuat. Ilustrasi: Annizhamul H/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Chairwoman Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) Asih Karnengsih menilai dasar hukum tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto masih perlu diperkuat.

"Tarif pajak aset kripto juga perlu memperhatikan kemampuan dalam mempertahankan daya saing pelaku usaha dalam negeri," kata Asih di Jakarta, Senin (30/5).

Berdasarkan peraturan yang berlaku mulai 1 Mei 2022, pemerintah menarik PPN atas transaksi perdagangan aset kripto sebesar satu persen dari tarif PPN, dikalikan nilai transaksi aset kripto.

Investor kripto juga akan dikenakan PPh final dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan aset kripto dengan besaran 0,1 persen.

Menurutnya, tarif tersebut berpotensi mengurangi daya saing pelaku usaha perdagangan aset kripto.

Pasalnya, pelanggan akan lebih memilih bertransaksi melalui pedagang aset kripto luar negeri yang tidak diawasi Bappebti.

Hal ini pun dikhawatirkan akan menahan laju pertumbuhan industri aset kripto dalam negeri, khususnya pertumbuhan usaha pedagang yang sudah terdaftar dan patuh terhadap peraturan Bappebti.

"Kemudian, hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah ekosistem aset kripto yang juga sedang dibangun oleh pemerintah, mencakup bursa berjangka, lembaga kliring, dan depository yang berarti akan ada additional fees yang tidak dikenakan pada pedagang fisik aset kripto luar negeri," katanya.

Asosiasi Blockchain menyebut dasar hukum tarif PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto masih perlu diperkuat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News