Ahli Hukum Tata Negara Kritisi RUU Kesehatan: Jangan untuk Mendulang Keuntungan
Bahkan, dalam RUU Kesehatan, ada sembilan topik yang digabungkan menjadi satu undang-undang, sehingga membuat publik luput melihat hal-hal yang seharusnya dikaji secara matang.
“Begitu ambisiusnya RUU Kesehatan ini, sehingga membuat para stakeholders yang seharusnya diajak duduk bersama merumuskan muatannya, malah terlewat. Selain itu, omnibus law itu seharusnya bersifat single subject rule. Artinya, harus ada relevansi antara satu undang-undang dengan yang lain sebelum digabungkan dalam RUU,” papar Bivitri.
Tidak hanya itu, Bivitri juga menilai bahwa politik hukum yang sekarang menempatkan kesehatan sebagai industri, bukan hak asasi manusia.
Menurutnya, dengan paradigma tersebut, maka kesehatan akan diposisikan sebagai sarana mendulang keuntungan.
“Jika kesehatan kita lihat sebagai hak asasi manusia, maka seharusnya yang kita bicarakan adalah bagaimana orang miskin bisa dapat pelayanan kesehatan yang bagus, termasuk perempuan, anak-anak, kaum disabilitas, dan kelompok rentan lainnya harus dilindungi," ujar Bivitri.
"Sayangnya paradigma itu tidak dibawa ke dalam RUU Kesehatan dengan berbagai alasan. Banyak lobi-lobi dan makan malam dengan key opinion makers, padahal yang harus didengar adalah stakeholders sesungguhnya, yaitu rakyat,” kritiknya. (mrk/jpnn)
Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengkritisi RUU Kesehatan yang dikhawatirkan menempatkan kesehatan sebagai industri dan sarana mendulang keuntungan
Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi
- Dorong Gerakan Hidup Sehat Dilakukan Secara Masif, Lestari Moerdijat Khawatir Soal Ini
- Bertemu Menkumham, Presiden WAML Siap Bantu Indonesia Kuatkan Hak Sehat Narapidana
- Ribuan Buruh dari Karawang Ikuti May Day di Depan Istana Negara, Mereka Menolak Omnibus Law
- Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Berkolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan
- Lestari Moerdijat: Gerakan Pencegahan Malaria Harus Terus Dilakukan Secara Masif
- 4 Pasien DBD di Banyuwangi Meninggal Dunia