Alim

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Alim
Pebulu tangkis putri Indonesia Leani Ratri Oktila (kiri) dan Khalimatus Sadiyah Sukohandoko. Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A/pras.

Kali ini pemerintah Indonesia juga menjanjikan jumlah yang sama untuk atlet Paralimpiade.

Atlet difabel Indonesia masih menjadi atlet kelas dua, yang masih sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Alim bercerita bahwa sejak masih kanak-kanak dia bertekad menjadi atlet profesional.

Ia berlatih keras dan bergabung bersama atlet-atlet non-difabel. Banyak yang menyarankan agar ia berlatih terpisah dari atltet non-difabel, tetapi Alim kukuh berlatih dengan para atlet non-difabel.

Para atlet difabel dinaungi secara khusus oleh organisasi National Paralympic Committee (NPC) yang langsung dibawahi oleh organisasi paralimpik internasional International Paralympic Committee (IPC) yang sejajar dengan International Olympic Committee (IOC) yang menyelenggarakan Olimpiade.

Di Indonesia organisasi NPC terpisah dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang membawahi atlet-atlet non-difabel.

Di masa lalu olahraga para difabel dikategorikan sebagai olahraga rekreasi. Namun, sejak 2005 diputuskan bahwa ajang olahraga difabel adalah ajang olahraga prestasi yang sama dengan Olimpiade.

Ajang olahraga difabel internasional diselenggarakan oleh IPC dengan waktu penyelenggaraan berurutan dengan Olimpiade.

Di Indonesia kompetisi atlet difabel kali pertama diselenggarakan pada 1957 dengan nama Pekan Olahraga Penyandang Cacat (POR Penca). Lalu pada awal 1990-an pekan olahraga ini diubah menjadi Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas).

Atlet Paralimpiade seperti Alim-Leani belum mendapatkan guyuran hadiah sebagaimana yang diterima atlet Olimpiade.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News