Angkat Kisah Korban, Diskusi Peristiwa 1965 di Bali Bantah Bahas Komunisme

Angkat Kisah Korban, Diskusi Peristiwa 1965 di Bali Bantah Bahas Komunisme
Angkat Kisah Korban, Diskusi Peristiwa 1965 di Bali Bantah Bahas Komunisme

Salah satu korban peristiwa 1965 yang dimaksud Jemma adalah Lasinem, seorang janda yang suaminya ditahan pada tahun 1969 dan dibuang ke Pulau Buru. Sejak saat itu, Lasinem berjuang membesarkan anak-anaknya. Pada tahun 1972, Lasinem beserta  anak-anaknya menyusul ke Pulau Buru sebelum akhirnya sang suami dibebaskan pada tahun 1979.

Hingga saat ini, keluarga Lasinem masih bertahan di pulau itu, menyambung hidup dengan menjual kecambah serta ayam.

"Suami saya dijemput tentara, dibawa teman-temannya sendiri dan dikirim ke kelurahan. Ia dipukul, diikat ke kursi dan dianiaya. Punggungnya diinjak-injak sampai ia luka sekujur tubuh. Awalnya saya bingung dan takut hingga tersadar saya telah kehilangan seorang pelindung dan sumber nafkah saya. Bagaimana anak-anak kami? mereka butuh makan!. Saya masih terluka karena saya masih ingat apa yang terjadi di masa lalu. Masih ada luka di hati saya," tuturnya dalam situs resmi AJAR.

Jemma mengungkapkan, jika memang benar pembatalan itu disebabkan dugaan penyebaran komunisme, maka polisi telah salah memahami tema diskusi dan tujuan kegiatan.

 “Jika memang polisi merujuk pada TAP MPRS No. 25 tahun ’66, maka itu tak tepat karena tak ada diskusi tentang ideologi komunisme dalam acara itu. Kegiatan yang dibatalkan benar-benar diskusi akademis dan sastra seputar dampak peristiwa 1965,” terangnya.

Angkat Kisah Korban, Diskusi Peristiwa 1965 di Bali Bantah Bahas Komunisme
Lasinem dari Pulau Buru, salah satu korban kekerasan 1965. (Foto: asia-ajar.org)

Ia  mengutarakan, pihaknya ingin menampilkan bagaimana sejarah masa lalu yang traumatis dikenang dalam perjalanan Indonesia hari ini, dengan berbagai referensi dari cerita warga, musik, karya sastra dan fotografi.

Lebih lanjut Jemma mengemukakan, yayasannya berusaha untuk memberi ruang bagi para korban untuk bersuara ke publik internasional tentang periode yang dianggap kelam tersebut, dan dampaknya terhadap kehidupan mereka serta Indonesia, pada umumnya.

Menanggapi pembatalan diskusi dan peluncuran buku tentang peristiwa 1965 dalam Festival Penulis dan Pembaca Ubud (UWRF) 2015, pihak penyelenggara

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News