Ansy Lema: Ini Bukti Kebijakan Bulog Tidak Berdasarkan Data

Ansy Lema: Ini Bukti Kebijakan Bulog Tidak Berdasarkan Data
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PDIP Yohanis Fransiskus Lema (kanan) saat rapat kerja di Komisi IV DPR. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PDIP Yohanis Fransiskus Lema menyoroti langkah Perum Bulog yang akan membuang 20.000 ton beras cadangan pemerintah (CBP) atau disposal stock yang sudah tidak layak konsumsi karena mengalami penurunan mutu. Kebijakan yang diambil Bulog ini sebagai bentuk buruknya tata kelola pemerintah dalam mengatur urusan pangan.

“Ini bukti bahwa kebijakan yang diambil tidak berdasarkan data yang akurat. Mengapa kita harus impor jika ternyata stok beras dalam negeri kita mencukupi? Tragisnya sekarang harus dibuang karena tidak terserap ke masyarakat,” tutur pria yang akrab disapa Ansy Lema, Rabu (4/12).

Menurut Ansy, Bulog harus bisa menjelaskan mengapa kondisi pembuangan beras bisa terjadi secara terang benderang. Masyarakat perlu diberikan informasi yang tepat dan jelas agar tidak menimbulkan praduga atau asumsi yang salah.

Dirinya menjelaskan, stok 20.000 ton beras yang mengendap selama setahun lebih di gudang Bulog menjadi bukti keputusan impor beras yang dilakukan pemerintah tidak tepat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pemerintah telah melakukan impor beras selama 2018 sebesar 2,25 juta ton dengan nilai US$ 1,03 miliar. Angka ini paling tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Pada 2017 impor beras hanya 305,27 ribu ton dengan nilai US$ 143,64 juta dan pada 2016 sebesar 1,28 juta ton dengan nilai US$ 531,84 juta.

Padahal, menurut Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), beras yang usia penyimpanannya melebihi batas waktu simpan paling sedikit empat bulan berpotensi mengalami penurunan mutu. Akibatnya, beras harus dibuang atau dimusnahkan. Hal ini berarti sistem pengelolaan beras pemerintah tergolong buruk.

Karena itu, lanjut Ansy, logika yang seharusnya ditanyakan adalah mengapa pemerintah impor begitu besar pada tahun 2018. Sedangkan di dalam gudang Bulog sendiri terdapat stok 20.000 ton yang dibiarkan mengendap begitu saja. Bukan hanya negara yang dirugikan dengan beban impor ataupun pembuangan beras seperti sekarang, tetapi para petani pun dirugikan.

“Para petani bekerja keras untuk bisa mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Masyarakat Indonesia pun masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kita pun menggalangkan program swasembada pangan. Namun, kenyataannya dalam pengelolaan masih salah,” tukas Ansy.

Kebijakan yang diambil Bulog ini sebagai bentuk buruknya tata kelola pemerintah dalam mengatur urusan pangan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News