Ansy Lema: Ini Bukti Kebijakan Bulog Tidak Berdasarkan Data

Lebih jauh, Ansy mengungkapkan persoalan sinkronisasi data sebagai dasar kebijakan. Sejauh ini beberapa kementerian atau lembaga seperti Bulog, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, BPS, dan Bank Indonesia memiliki gugus tugas untuk mengambil data-data pangan di lapangan termasuk beras. Namun, seringkali data yang mereka miliki berbeda satu sama lain.
Perbedaan data tersebut pun mengakibatkan pengambilan kebijakan soal pangan dapat keliru. Misalnya, ada institusi negara yang menilai perlu impor beras, sementara ada yang berpandangan tidak perlu impor karena Indonesia mengalami surplus beras.
“Mana data yang benar? Presiden Jokowi sendiri telah menerbitkan Perpres Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data pada Juni 2019. Karena itu, penting adanya kerja sama untuk melakukan sinkronisasi data pangan. Jangan bermain-main perihal data karena berujung pada pengambilan kebijakan yang tepat,” tegasnya.
Di sisi lain, kata Ansy, pemerintah harus mewaspadai adanya mafia beras. Beban impor beras yang tinggi setiap tahunnya, sementara pemerintah sendiri mempunyai stok cadangan menunjukkan indikasi adanya permainan mafia impor yang harus dibongkar.
“Bulog sendiri dalam hal ini harus berani mengambil kebijakan atau setidaknya mengusulkan kebijakan dan memaksa pemerintah untuk menindak tegas para mafia tersebut,” katanya.(fri/jpnn)
Kebijakan yang diambil Bulog ini sebagai bentuk buruknya tata kelola pemerintah dalam mengatur urusan pangan.
Redaktur & Reporter : Friederich
- Minta Kepastian Hukum Bagi Buruh, Sahroni: Upah Dibayarkan, Jangan Ada Ijazah Ditahan
- Kunker ke Kepulauan Riau, BAM DPR Berjanji Serap Aspirasi Warga Rempang
- Cetak Rekor, Serapan Beras Bulog Capai 1,3 Juta Ton Sepanjang April 2025
- Ketua Komisi II DPR Sebut Kemandirian Fiskal Banten Tertinggi di Indonesia pada 2024
- Rempang Eco City Tak Masuk Daftar PSN Era Prabowo, Rieke Girang
- Momen KSAL Minta Tunggakan BBM TNI AL Rp 2,25 T ke Pertamina Diputihkan