Bikin Lembaga Keuangan Tandingan, ITB Beri Dukungan

Bikin Lembaga Keuangan Tandingan, ITB Beri Dukungan
BEBASKAN WARGA DARI RENTENIR: Asep Johan dan istrinya, Rosmaya, di rumahnya yang sederhana kampung Manteos, Dago, kota Bandung, Senin (6 Desember 2014). Foto: Sugeng Sulaksono / Jawa Pos/JPNN.com

Asep Yohan membuktikan bahwa keterbatasan tidak menghambat untuk bertindak nyata bagi masyarakat sekitar. Buktinya, bermodal jabatan ketua RT (rukun tetangga), dia mampu membebaskan warganya di RT 04 RW 13, Kampung Manteos, Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, dari "lingkaran setan" rentenir.
 
SUGENG SULAKSONO, Bandung
 
Pada suatu siang, pandangan Asep Yohan terus membuntuti pria yang mengendarai sepeda motor yang masuk ke lingkungan warganya di Kampung Manteos, Kota Bandung. Objek perhatiannya itu kemudian berhenti di depan salah satu rumah, lalu mengangkat pot bunga di depannya.
 
Di bawah pot itu rupanya sudah diletakkan sejumlah uang sebagai bagian dari cicilan yang harus dibayar si pemilik rumah. Sebagai gantinya, pengendara sepeda motor itu menaruh secarik kertas di tempat yang sama. Belakangan diketahui bahwa kertas tersebut merupakan bukti pembayaran atas cicilan utang pemilik rumah kepada rentenir.
 
"Mungkin si pemilik rumah malu kalau harus bayar langsung ke tukang tagih. Mereka lalu sepakat dengan cara pembayaran sembunyi-sembunyi di bawah pot bunga itu," ujar Asep ketika ditemui di rumahnya, RT 04 RW 13, Kampung Manteos, Senin sore (6/1).
 
Yang mengagetkan Asep, setelah diselidiki, bukan hanya warga itu yang terjerat rentenir. Di lingkungan RT-nya, ternyata cukup banyak warga yang berutang kepada "lintah darat" tersebut. Memang, besaran utangnya tidak banyak. Hanya berkisar Rp 1 juta. Tapi, seorang warga bisa meminjam kepada dua atau tiga rentenir yang berbeda. Padahal, bunga pinjaman yang harus dibayarkan minimal 30 persen.
 
"Untuk pinjaman Rp 100 ribu, misalnya, total cicilan yang harus dibayarkan jadi Rp 130 ribu. Itu pun yang diterima tidak genap Rp 100 ribu. Dipotong Rp 10 ribu untuk biaya administrasi. Jadi, yang diterima peminjam hanya Rp 90 ribu," papar ayah tiga anak itu.

Mekanisme pembayaran biasanya setiap hari dengan jangka waktu rata-rata sebulan sampai 50 hari. Biasanya warga mengutang untuk bayar listrik atau kebutuhan anak sekolah. Tapi, ada juga yang pinjam uang untuk membeli sesuatu di luar kebutuhan pokok. Misalnya, beli baju atau HP. "Jadi, bukan untuk modal usaha," tambahnya.
 
Bisa jadi langkah meminjam ke rentenir itu terpaksa dilakukan karena mayoritas warga bukan karyawan tetap di sebuah perusahaan. Juga, hanya sedikit yang berwiraswasta dengan berjualan. Banyak yang berstatus buruh tidak tetap, mulai kuli bangunan, jasa keamanan, sampai pekerja rumah tangga.
 
"Yang jualan bisa dihitung jari. Yang kerja tetap juga bisa dihitung jari," ungkap Asep yang sehari-hari bekerja sebagai teknisi studio gambar di Politeknik Negeri Bandung.
 
Keresahan hati Asep semakin memuncak karena semakin hari melihat rentenir di lingkungannya semakin merajalela. Terlebih, dia sering mendapat cerita yang sama dari sang istri, Rosmaya, yang aktif di kegiatan ibu-ibu PKK, olahraga, sampai pengajian.
 
"Pernah waktu ibu-ibu main voli, ada yang minta izin ke kamar kecil. Tapi, ternyata dia sedang menemui rentenir untuk selesaikan urusannya. Sering juga tiba-tiba ada ibu yang lari ke sana-kemari cari pinjaman Rp 10 ribu untuk urusan mendadak. Padahal, ya itu, dia harus segera bayar. Mungkin sudah dua atau tiga hari tidak bayar cicilan. Akhirnya, gali lubang tutup lubang. Makanya, satu orang bisa pinjam ke dua atau tiga rentenir," timpal Rosmaya.
 
Dia menyayangkan banyaknya ibu lulusan SMA yang berusia produktif yang pasrah hanya menjadi buruh cuci di kompleks dekat perkampungan. "Beberapa malah jadi tulang punggung keluarga karena suaminya menganggur," cerita guru di SDN Cisitu 2 Bandung itu.
 
Kampung Manteos memang menjadi ironi bagi lingkungan di sekitar daerah itu. Perkampungan dalam satu RW yang dihuni sekitar 600 kepala keluarga (KK) itu berdampingan dengan kompleks elite seperti perumahan dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) serta kantor perwakilan dinas Kementerian Perindustrian. Apalagi Dago selama ini dikenal sebagai salah satu jantung Kota Bandung. Bila musim liburan, kawasan itu ramai dengan kunjungan wisatawan domestik yang ingin berbelanja.
 
Meski begitu, Asep dan Rosmaya sedikit lega karena kini di RT-nya sekitar 70 KK sudah terbebas dari "ekspansi" rentenir. Hal itu merupakan buah perjuangannya mendirikan lembaga keuangan kecil-kecilan sejak tiga tahun lalu. Saat itu jabatan RT yang diemban Asep sudah memasuki periode kedua. Upaya "bersih-bersih" rentenir tersebut dimulai dengan modal Rp 1,5 juta. Sebesar Rp 1 juta diambilkan dari kas RT, sedangkan sisanya dari kocek Asep sendiri.
 
"Terus terang, kami resah menghadapi kenyataan seperti itu di kampung ini. Karena itu, setelah berembuk dengan para sesepuh kampung, kami sepakat untuk menanggulanginya bersama," tutur bapak kelahiran Bandung, 5 Agustus 1961, itu.
 
Awalnya memang tidak mudah. Saat pendataan warga yang memiliki utang ke rentenir, tidak semua mau terbuka. Mungkin mereka malu karena pendataan itu dilakukan di forum resmi di tingkat RT. "Akhirnya, buat yang tidak mau terbuka di forum, saya persilakan datang ke rumah. Kapan pun saya terima," tutur Asep.
 
Satu per satu warga yang memiliki utang dipertemukan dengan pemberi utang di rumah Asep. Dalam kesempatan itu, sekalian dibicarakan dengan para rentenir untuk tidak lagi menggarap bisnis di lingkungannya.
 
"Saya katakan baik-baik, kami tidak bermaksud mematikan bisnis Anda. Tetapi, kami punya program seperti ini. Silakan cari nasabah di tempat lain," ungkapnya.
 
Di luar dugaan, para rentenir bisa menerima argumentasi itu. Utang warga satu demi satu dilunasi lembaga perbankan ala Kampung Manteos tersebut. Sebagai gantinya, warga yang terlibat utang harus mencicil kepada lembaga keuangan yang dikelola Rosmaya dan ibu-ibu PKK.
 
Bedanya, cicilan menjadi lebih ringan. Setiap kelipatan Rp 100 ribu hanya dikenai infak Rp 2 ribu yang dibayarkan pada cicilan ke-51. Sudah diperhitungkan utang pokok yang harus dibayarkan setiap hari akan tuntas pada hari ke-50. "Infak itu bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk menambah modal pokok di kas RT," ujarnya.
 
Tiga bulan lalu, modal tersebut bertambah signifikan setelah aktivis Kampung Bangkit Salman (KBS) yang lahir dari Rumah Amal Salman, ITB, mendonasikan dana Rp 8 juta. Dana tersebut didapat setelah Tarya, aktivis KBS yang tinggal di Kampung Manteos, mengetahui perjuangan Asep mengentas warga dari jerat rentenir. Dia kemudian membuat proposal bersama untuk diajukan ke KBS.
 
Beberapa hari lalu jabatan Asep sebagai ketua RT berakhir. Penerusnya sepakat untuk melanjutkan program itu. Tetapi, dia tidak ingin mengelola dana Rp 8 juta dari KBS. Sebaliknya, Asep merasa masih harus berbuat sesuatu untuk lingkungannya dan menyimpan banyak program untuk mengatasi persoalan warga.
 
Gayung bersambut. Ketua RW menawarkan satu jabatan kosong, yaitu ketua seksi usaha kecil dan menengah (UKM) di tingkat RW. Asep siap mengisi jabatan itu untuk melanjutkan tekadnya membangkitkan ekonomi Kampung Manteos, khususnya untuk membebaskan sekitar 530 KK dari jerat "lintah darat".
 
Tambahan modal Rp 8 juta dari KBS bisa dia maksimalkan dalam jabatan tersebut. "Tadi pagi (6/1) saya dipanggil Pak Lurah. Beliau bersedia membantu," ucapnya semringah. (*/c5/ari)


Asep Yohan membuktikan bahwa keterbatasan tidak menghambat untuk bertindak nyata bagi masyarakat sekitar. Buktinya, bermodal jabatan ketua RT (rukun


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News