Bisnis Co-Living Makin Menggiurkan Bagi Investor

Bisnis Co-Living Makin Menggiurkan Bagi Investor
CEO Kamar Keluarga Charles Kwok (kanan) dan COO Kamar Keluarga Ferry Lukas menujukkan cara pemesanan kamar melalui website kamarkeluarga.id saat berada di unit Kamar Keluarga yang ada di Duri Kosambi. Foto Kamar Keluarga

jpnn.com, JAKARTA - Konsep hunian dengan fasilitas komprehensif, harga terjangkau, dan lokasi strategis, seperti co-living semakin banyak diminati masyarakat urban. Hanya saja saat ini belum banyak pengembang atau pengelola yang membuat konsep properti seperti co-living.

Senior Associate Director Colliers International Ferry Salanto mengatakan konsep ini mirip seperti kos-kosan, di mana fasilitas umum bisa dipakai bersama. Dan peluang ini dapat dimanfaatkan oleh para pengembang dan pengelola dalam mengembangkan bisnisnya.

“Kebutuhan orang untuk sewa hunian yang terjangkau dan lokasi strategis masih sangat besar, sementara pasokannya belum banyak. Saya lihat potensi ini cukup baik bagi pengembang dan pengelola yang ingin bermain dibisnis ini,” kata Ferry.

Kebanyakan pemain apartemen/hunian sewa di tengah kota lebih diperuntukan bagi kelas memengah atas. Sehingga kelas menengah bawah lebih memilih hunian berupa kos-kosan.

Dan kos-kosan yang ada saat ini konsepnya pun belum sesuai harapan para pekerja. Di mana dari layanannya hanya begitu-gitu saja, dan tidak memiliki konsep yang jelas. 

“Dari sisi bangunan, ada pengelola yang mengklaim properti yang dikelolanya itu co-living, tapi konsepnya masih kayak apartemen biasa, belum ada sesuatu yang mencirikan kalau itu co-living,” bebernya.

Karena itu, potensi dan peluang bisnis untuk menciptakan hunian co-living masih terbuka lebar. Pengembangan co-living opsinya bisa bermacam-macam, contohnya developer yang bangun, terus menjual ke investor untuk disewakan. Atau developer mendirikan satu bangunan untuk co-living lalu dikelolanya sendiri.

“Bisa juga bangunan co-living dibangun terus ditawarkan ke operator untuk pengelolaan. Potensi bisnisnya besar, dan bisnis co-living biasanya hidup dari penyewaan,” terang Ferry.

Tidak hanya itu, Ferry menjelaskan apabila ada konsep hunian seperti apartemen yang ukurannya bisa diperkecil dan dibentuk co-living dengan harga mendekati kos-kosan, dia yakin akan banyak peminatnya. Hunian yang lebih rapih juga bonafit, bisa lebih laku dibandingkan kos-kosan biasa.

“Investor bisa masuk ke segmen bisnis ini karena punya potensi yang sangat besar, dan pemainnya juga belum banyak,” tegasnya.

Salah satu pemain bisnis co-living dengan harga terjangkau yang ada saat ini adalah PT Hoppor International atau yang lebih dikenal dengan nama Kamar Keluarga.

CEO Kamar Keluarga Charles Kwok mengatakan pihaknya telah melihat potensi ini sejak beberapa tahun lalu. Dia melihat bahwa masyarakat yang menginginkan hunian dengan konsep co-living sangat besar.

Adapun konsep co-living dijalankan oleh Kamar Keluarga yakni yang memiliki ekosistem terpadu dengan jaringan yang luas, layanan lengkap, dan harga yang terjangkau. Saat ini kamar yang dimiliki Kamar Keluarga ada sebanyak 2.041 di 75 lokasi strategis dan gampang diakses oleh transportasi umum yang berada di Jabodetabek dan Bandung.

“Kami memanfaatkan teknologi berbasis web dan aplikasi untuk memberikan fasilitas dan pelayanan, sehingga seluruh kebutuhan end to end pelanggan dapat terpenuhi hanya dengan telepon genggam saja,” kata Charles.

“Lengkapnya konsep yang kami tawarkan itu membuat investor dapat memilih sesuai kebutuhannya. Dan itu yang membuat kami berkembang dengan cepat karena investor diuntungkan,” imbuh Charles.(chi/jpnn)

Konsep ini mirip seperti kos-kosan, di mana fasilitas umum bisa dipakai bersama. Dan peluang ini dapat dimanfaatkan oleh para pengembang dan pengelola dalam mengembangkan bisnisnya.


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News