Cawe-Cawe Ala Jokowi dan Potensi Pemakzulan

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Cawe-Cawe Ala Jokowi dan Potensi Pemakzulan
Presiden RI Joko Widodo. Foto: arsip JPNN.com/Ricardo

Lalu, pada 27 Maret 1966, Soekarno terpaksa mengumumkan kabinet baru bentukan Soeharto. Pembersihan loyalis Soekarno pun terjadi di kalangan militer dan birokrasi.

Dominasi Soeharto menguat di kalangan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang anti-Soekarno. Pada 22 Juni 1966, Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawabannya selama jadi presiden di hadapan MPRS.

Pidato itu dijuduli Nawaksara. Namun, MPRS yang sudah berada di luar kendali Soekarno menolak pertanggungjawaban itu.

Soekarno makin terdesak. Pada 22 Februari 1967, Soekarno mengumumkan kesediaannya menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada Soeharto sebagai pengemban Supersemar. Kejatuhan Soekarno makin dekat.

Pada 7 Maret 1967, Sidang Istimewa MPRS memutuskan mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, sekaligus menetapkan Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Soeharto kemudian berkuasa selama 32 tahun dan dianggap mempunyai kekuatan yang tidak tergoyahkan.

Namun, akhirnya Soeharto dipaksa mundur oleh demonstrasi mahasiswa. Aksi itu mendapat dukungan dari kroni-kroni Soeharto di kekuasaan.

Impeachment adalah mekanisme demokrasi yang dijamin oleh konstitusi, tetapi bisa menjadi preseden buruk dalam bernegara. Negara demokrasi matang seperti Amerika Serikat sangat menghindari impeachment.

Jika harus terjadi impeachment –sebagaimana dialami Presiden Richard Nixon pada 1972- dia langsung diampuni dan diputihkan oleh Presiden Gerald Ford yang terpilih menggantikannya.

Denny Indrayana kian rajin membuat pernyataan yang menarik perhatian publik. Dia meminta DPR mendorong proses pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Jokowi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News