Childfree & Resesi Seks

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Childfree & Resesi Seks
Ilustrasi pacaran. Foto: Dokumen JPNN.com

Beberapa tahun terakhir muncul tren baru yang disebut sebagai ‘sex recession’ atau resesi seks. Sebagaimana resesi ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan minus, resesi seks juga ditandai dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang minus.

Jepang menjadi salah satu negara yang menderita resesi seks, dan hal itu membawa pengaruh serius terhadap perekenomian negara. Resesi seks ditandai dengan gaya hidup childfree yang semakin meluas.

Pasangan muda memilih untuk menikah tetapi berkomitmen untuk tidak mempunyai anak. Banyak juga anak-anak muda yang memutuskan untuk tidak menikah dan lebih mengejar karir.

Banyak di antara mereka yang merasa bahwa beban hidup untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri sudah berat, apalagi kalau harus menanggung biaya anak dan istri. Jumlah orang tua menjadi lebih besar ketimbang angkatan kerja yang produktif.

Akibatnya, produktivitas nasional menurun karena satu angkatan kerja produktif harus menanggung sedikitnya dua orang pensiunan yang sudah tidak produktif. Itulah yang menyebabkan Jepang sekarang menjadi salah satu negara dengan defisit anggaran yang besar.

Defisit itu muncul karena pemerintah berutang untuk membayar tunjangan sosial bagi orang-orang tua pensiunan yang sudah tidak produktif. Rasio utang Jepang tinggi tetapi ekonomi masih aman karena kemampuan untuk membayar utang (debt to service ratio) masih terjaga.

Jepang banyak berutang ke publiknya sendiri dan tidak banyak berutang ke luar. Itulah yang membuat fundamental ekonomi Jepang masih kokoh.

Anak-anak muda Jepang enggan menikah dalam usia dini. Kalau kemudian menikah mereka memutuskan menjadi DINK.

Peribahasa banyak anak banyak rezeki mungkin sudah tidak banyak dipercaya oleh generasi milenial. Namun, gaya hidup chlidfree masih dianggap tak lazim.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News